A. PENGERTIAN MU'TAZILAH
mutazilah berarti “memisahkan diri”.namun ini pada mulanya diberikan oleh orang di luar mu’tazilah karena tokoh pendirinya,washil bin atha’,tidak sependapat dan memisahkan diri dari gurunya,hasan al basri.
Meskipun nama tersebut semula muncul dari kalangan luar mu’tazilah,namun dalam perkembangan berikutnya,secara diam diam pengikut mu’tazilah menyetujui dan menggunakan nama tersebut sebagai nama sebuah aliran teologi mereka.Namun,pengertian memisahkan diri bagi mereka tidak sama dengan pengertian yang diberikan oleh non-mu’tazili.Bagi mereka,mu’tazilah bearti memisahkan atau menjauhkan diri dari yang salah.
Aliran mu’tazilah merupakan salah satu aliran teologi dalam islam yang dapat dikelompokkan sebagai kaum rasionalis islam, disamping maturidiyah samarkand. Aliran ini muncul sekitar abad pertama hijriyah, di kota Basrah, yang ketika itu menjadi kota sentra ilmu pengetahuan dan kebudayaan islam. disamping itu, aneka kebudayaan asing dan macam-macam agama bertemu dikota ini. dengan demikian luas dan banyaknya penganut islam, semakin banyak pula musuh-musuh yang ingin menghancurkannya, baik dari internal umat islam secara politis maupun dari eksternal umat islam secara dogmatis.
B. SEJARAH MU’TAZILAH
Sejarah munculnya aliran mu’tazilah oleh paraKelompok pemuja akal ini muncul di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal. Ia lahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan wafat pada tahun 131 H.
Kemunculan mu`tazilah ini bermula dari lontaran ketidaksetujuan dari Washil Bin Atha` atas pendapat Hasan Basri yang mengatakan bahwa seorang muslim yang melakukan kefasikan (dosa besar), maka di akhirat nanti akan disiksa lebih dahulu sesuai dengan dosanya, kemudian akan dimasukkan ke jannah sebagai rahmat Allah atasnya, Washil Bin Atha` menyangkal pendapat tersebut. Sebaliknya dia mengatakan bahwa kedudukan orang mukmin yang fasik tersebut tidak lagi mukmin dan tidak juga kafir. Sehingga kedudukannya tidak di neraka dan tidak pula di surga. namun dia berada dalam satu posisi antara iman dan kufur. Antara surga dan neraka (al-manzilah baina manzilatain).
Di dalam menyebarkan ajarannya, ia didukung oleh ‘Amr bin ‘Ubaid (seorang gembong Qadariyyah kota Bashrah) setelah keduanya bersepakat dalam suatu pemikiran bid’ah, yaitu mengingkari taqdir dan sifat-sifat Allah.
Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. Hingga kemudian para tokoh mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar terwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mengabaikan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah). Oleh karena itu, tidak aneh bila kaidah nomor satu mereka berbunyi: “Akal lebih didahulukan daripada syariat (Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’dan akal-lah sebagai kata pemutus dalam segala hal. Bila syariat bertentangan dengan akal, menurut persangkaan mereka maka sungguh syariat tersebut harus dibuang atau ditakwil
Secara etimologis, kata “Mu’tazilah” berarti golongan yang mengasingkan atau memisahkan diri. Dalam lembaran sejarah Islam, golongan ini pernah terjadi di kala pertikaian antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan. Pada saat itu terdapat beberapa orang sahabat Nabi yang tidak menginginkan terlibat dalam pertikaian tersebut. Mereka tidak ikut membaiat Ali, namun mereka memilih bersikap netral. Beberapa tokoh yang memiliki sikap semacam ini adalah: Sa’d bin Abi Waqqasy, Abdullah bin Umar, dan Utsman bin Zaid. Orang‑orang itu disebut kelompok Mu’tazilah, karena mengasingkan diri dari keterlibatan dalam pertikaian politik yang tengah terjadi antara Ali dan Mu’awiyah
Apabila kata Mu’tazilah dikaitkan dalam konteks aliran‑aliran teologi, maka Mu’tazilah adalah suatu nama golongan dalam Islam yang membawa persoalan‑persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis dari pada persoalan‑persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan Murji’ah yang dalam pembahasannya banyak memakai akal, sehingga golongan ini sering disebut kaum rasionalis Islam.
Sebenarnya nama Mu’tazilah bukanlah produk dari orang‑orang Mu’tazilah sendiri, melainkan gelar yang diberikan oleh pihak lain untuknya, ketika Hasan al- Basri mendengar kebid`ahan Washil Ibn Atha`, maka dia mengusirnya dari majelis, lalu Washil Ibn Atha` memisahkan diri kemudian diikuti oleh para sahabatnya yang bernama Amr bin Ubaid. Maka pada saat itulah orang-orang menyebut mereka telah memisahkan diri dari pendapat umat. Sejak itulah pengikut mereka berdua disebut Mu`tazilah.
C. Pokok-Pokok Ajaran Mu’tazilah
Ajaran-ajaran dasar golongan Mu’tazilah berasal dari Ibn Atha, pokok-pokok pikiran itu dirumuskan dalam ajarannya yang disebut “Al-ushul al-Khamsah”, atau Lima ajaran dasar yaitu :
1. Al-Tauhid
2. Al-‘adl
3. Al-wa’d wa al-wa’id
4. Al-manzilah bain al-manzilatain
5. Al-‘amr bi al-ma’ruf wa al-nahi an al-munkar
1. At- Tauhid (ke-Esaan)
At-tauhid (pengesaan Tuhan) merupakan prinsip utama dan intisari ajaranmu’tazilah. Sebenarnya, setiap mazhab teologis dalam islam memegang doktrin ini.Namun bagi mu’tazilah ,tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi arti kemahaesaannya.Untuk memurnikan keesaan Tuhan, Mu’tazilah menolak konsep Tuhan memiliki sifat-sifat. Konsep ini bermula dari founding father aliran ini, yakni Washil bin ‘Atho. Ia mengingkari bahwa mengetahui, berkuasa, berkehendak, dan hidup adalah termasuk esensi Allah. Menurutnya, jika sifat-sifat ini diakui sebagai kekal-azali, itu berarti terdapat “pluralitas yang kekal” dan berarti bahwa kepercayaan kepada Allah adalah dusta belaka. Namun gagasan Washil ini tidak mudah diterima. Pada umumnya Mu’taziliyyah mereduksi sifat-sifat Allah menjadi dua, yakni ilmu dan kuasa, dan menamakan keduanya sebagai sifat-sifat esensial. Selanjutnya mereka mereduksi lagi kedua sifat dasar ini menjadi satu saja, yakni keesaan.
Doktrin tauhid Mu’tazilah lebih lanjut menjelaskan bahwa Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. Juga, keyakinan tidak ada satupun yang dapat menyamai Tuhan, begitupula sebaliknya, Tuhan tidak serupa dengan makhluk-Nya. Tegasnya Mu’tazilah menolak antropomorfisme. Penolakan terhadap paham antropomorfistik bukan semat-mata atas pertimbanagan akal, melainkan memiliki rujukan yang yang sangat kuat di dalam Al qur’an yang berbunyi (artinya) : “ tidak ada satupun yang menyamainya .” ( Q.S.Assyura : 9 ).
2. Al – ‘Adl (keadilan Tuhan)
Ajaran dasar Mu’tazilah yang kedua adalah al-adl, yang berarti Tuhan Maha Adil. Adil ini merupakan sifat yang paling gamblang untuk menunjukkan kesempurnaan, karena Tuhan Maha sempurna dia pasti adil. Faham ini bertujuan ingin menempatkan Tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang manusia. Tuhan dipandang adil apabila bertindak hanya yang baik dan terbaik. Begitupula Tuhan itu adil bila tidak melanggar janjinya.
Dengan demikian Tuhan terikat dengan janjinya. Merekalah golongan yang mensucikan Allah daripada pendapat lawannya yang mengatakan: bahwa Allah telah mentaqdirkan seseorang itu berbuat maksiat, lalu mereka di azab Allah, sedang Mu’tazialah berpendapat, bahwa manusia adalah merdeka dalam segala perbuatan dan bebas bertindak, sebab itu mereka di azab atas perbuatan dan tindakannya. Inilah yang mereka maksud keadilan itu.[2]
Ajaran tentang keadilan berkaitan dengan beberapa hal, antara lain :
a. Perbuatan manusia. Manusia menurut Mu’tazilah melakukan dan menciptakan perbuatannya sendiri, terlepas dari kehendak dan kekuasaan Tuhan. Manusia benar-benar bebas untuk menentukan pilihannya. Tuhan hanya menyuruh dan menghendaki yang baik. Konsep ini memiliki konsekuensi logis dengan keadilan Tuhan, yaitu apapun yang akan diterima manusia di akhirat merupakan balasan perbuatannya di dunia.
b. Berbuat baik dan terbaik Maksudnya adalah kewajiaban Tuhan untuk berbuat baik, bahkan terbaik bagimanusia. Tuhan tidak mungkin jahat atau aniaya karena itu akan menimbulkan persepsi bahwa Tuhan tidak maha sempurna. Bahakan menurut Annazam, salah satu tokoh mu’tazilah konsep ini berkaiatan dengan kebijaksanaaan, kemurahan dan kepengasihan Tuhan.
c. Mengutus Rasul. Mengutus Rasul kepada manusia merupakan kewajiaban Tuhan karena alasan berikut ini :
1) Tuhan wajib berbuat baik kepada manusia dan hal itu tidak dapat terwujud kecuali dengan mengutus Rasul kepada mereka.
2) Al qur’an secara tegas menyatakan kewajiban Tuhan untuk belas kasih kepada manusia .Cara terbaik untuk maksud tersebut adalah dengan pengutusan rasul.
3) Tujuan di ciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepadaNya dengan jalan mengutus rasul.
3. Al-Wa’ad wa al-Wa’id (Janji dan ancaman)
Ajaran ini berisi tentang janji dan ancaman. Tuhan yang Maha Adil tidak akan melanggar janjinya dan perbuatan Tuhan terikat dan di batasi oleh janjinya sendiri. Ini sesuai dengan prinsip keadilan. Ajaran ketiga ini tidak memberi peluang bagi Tuhan selain menunaikan janjinya yaitu memberi pahala orang yang ta’at dan menyiksa orang yang berbuat maksiat, ajaran ini tampaknya bertujuan mendorong manusia berbuat baik dan tidak melakukan perbuatan dosa.
4. Al-Manzilah bain Al-Manzilatain (tempat diantara kedua tempat)
Inilah ajaran yang mula-mula menyebabkan lahirnya mazhab mu’tazilah. Ajaran ini terkenal dengan status orang mukmin yang melakukan dosa besar, seperti dalam sejarah, khawarij menganggap orang tersebut kafir bahkan musyrik, sedangkan murji’ah berpendapat bahwa orang itu tetap mukmin dan dosanya sepenuhnya di serahkan kepada Tuhan.
Menurut pandangan Mu’tazilah orang islam yang mengerjakan dosa besar yang sampai matinya belum taubat, orang itu di hukumi tidak kafir dan tidak pula mukmin, tetapi diantara keduanya. Mereka itu dinamakan orangg fasiq, jadi mereka di tempatkan di suatu tempat diantara keduanya.
5. Al Amr bi Al Ma’ruf wa Al Nahi an Al Munkar (Menyuruh kebaikan dan melarang keburukan)
Ajaran ini menekankan keberpihakan kepada kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan konsekuensi logis dari keimananan seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan baik, diantaranya dengan menyuruh orang berbuat baik dan mencegahnya dari kejahatan. Perbedaan mazhab Mu’tazilah dengan mazhab lain mengenai ajaran kelima ini terletak pada tata pelaksanaanya. Menurut Mu’tazilah jika memang diperlukan kekerasan dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut.
D. Tokoh- Tokoh Mu’tazilah
1. Wasil bin Atha.
Wasil bin Atha adalah orang pertama yang meletakkan kerangka dasar ajaran Muktazilah. Adatiga ajaran pokok yang dicetuskannya, yaitu paham al-manzilah bain al-manzilatain, paham Kadariyah (yang diambilnya dari Ma’bad dan Gailan, dua tokoh aliran Kadariah), dan paham peniadaan sifat-sifat Tuhan.
Dua dari tiga ajaran itu kemudian menjadi doktrin ajaran Muktazilah, yaitu al-manzilah bain al-manzilatain dan peniadaan sifat-sifat Tuhan.
2. Abu Huzail al-Allaf.
Abu Huzail al-‘Allaf (w. 235 H), seorang pengikut aliran Wasil bin Atha, mendirikan sekolah Mu’tazilah pertama di kotaBashrah. Lewat sekolah ini, pemikiran Mu’tazilah dikaji dan dikembangkan. Sekolah ini menekankan pengajaran tentang rasionalisme dalam aspek pemikiran dan hukum Islam.
Aliran teologis ini pernah berjaya pada masa Khalifah Al-Makmun (Dinasti Abbasiyah). Mu’tazilah sempat menjadi madzhab resmi negara. Dukungan politik dari pihak rezim makin mengokohkan dominasi mazhab teologi ini. Tetapi sayang, tragedi mihnah telah mencoreng madzhab rasionalisme dalam Islam ini.
Abu Huzail al-Allaf adalah seorang filosof Islam. Ia mengetahui banyak falsafah yunani dan itu memudahkannya untuk menyusun ajaran-ajaran Muktazilah yang bercorak filsafat. Ia antara lain membuat uraian mengenai pengertian nafy as-sifat. Ia menjelaskan bahwa Tuhan Maha Mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya ini adalah Zat-Nya, bukan Sifat-Nya; Tuhan Maha Kuasa dengan Kekuasaan-Nya dan Kekuasaan-Nya adalah Zat-Nya dan seterusnya. Penjelasan dimaksudkan oleh Abu-Huzail untuk menghindari adanya yang kadim selain Tuhan karena kalau dikatakan ada sifat (dalam arti sesuatu yang melekat di luar zat Tuhan), berarti sifat-Nya itu kadim. Ini akan membawa kepada kemusyrikan.
Ajarannya yang lain adalah bahwa Tuhan menganugerahkan akal kepada manusia agar digunakan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, manusia wajib mengerjakan perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk. Dengan akal itu pula menusia dapat sampai pada pengetahuan tentang adanya Tuhan dan tentang kewajibannya berbuat baik kepada Tuhan. Selain itu ia melahirkan dasar-dasar dari ajaran as-salãh wa al-aslah.
3. Al-Jubba’i.
Al-Jubba’i adalah guru Abu Hasan al-Asy’ari, pendiri aliran Asy’ariah. Pendapatnya yang masyhur adalah mengenai kalam Allah SWT, sifat Allah SWT, kewajiban manusia, dan daya akal.
Mengenai sifat Allah SWT, ia menerangkan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat; kalau dikatakan Tuhan berkuasa, berkehendak, dan mengetahui, berarti Ia berkuasa, berkehendak, dan mengetahui melalui esensi-Nya, bukan dengan sifat-Nya. Lalu tentang kewajiban manusia, ia membaginya ke dalam dua kelompok, yakni kewajiban-kewajiban yang diketahui manusia melalui akalnya (wãjibah ‘aqliah) dan kewajiban-kewajiban yang diketahui melaui ajaran-ajaran yang dibawa para rasul dan nabi (wãjibah syar’iah).
4. An-Nazzam
Pendapat An Nazzam yang terpenting adalah mengenai keadilan Tuhan. Karena Tuhan itu Maha Adil, Ia tidak berkuasa untuk berlaku zalim. Dalam hal ini berpendapat lebih jauh dari gurunya, al-Allaf. Kalau Al-Allaf mangatakan bahwa Tuhan mustahil berbuat zalim kepada hamba-Nya, maka an-Nazzam menegaskan bahwa hal itu bukanlah hal yang mustahil, bahkan Tuhan tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat zalim. Ia berpendapat bahwa pebuatan zalim hanya dikerjakan oleh orang yang bodoh dan tidak sempurna, sedangkan Tuhan jauh dari keadaan yang demikian.
Ia juga mengeluarkan pendapat mengenai mukjizat al-Quran. Menurutnya, mukjizat al-quran terletak pada kandungannya, bukan pada uslūb (gaya bahasa) dan balāgah (retorika)-Nya. Ia juga memberi penjelasan tentang kalam Allah SWT. Kalam adalah segalanya sesuatu yang tersusun dari huruf-huruf dan dapat didengar. Karena itu, kalam adalah sesuatu yang bersifat baru dan tidak kadim.
5. Al- Jahiz
Al- jahiz dalam tulisan-tulisan al-Jahiz Abu Usman bin Bahar dijumpai paham naturalism atau kepercayaan akan hukum alam yang oleh kaum muktazilah disebut Sunnah Allah. Ia antara lain menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan manusia tidaklah sepenuhnya diwujudkan oleh manusia itu sendiri, malainkan ada pengaruh hukum alam.
6. Mu’ammar bin Abbad
Mu’ammar bin Abbad adalah pendiri muktazilah aliran Baghdad. Pendapatnya tentang kepercayaan pada hukum alam. Pendapatnya ini sama dengan pendapat al-Jahiz. Ia mengatakan bahwa Tuhan hanya menciptakan benda-benda materi. Adapun al-‘arad atau accidents (sesuatu yang datang pada benda-benda) itu adalah hasil dari hukum alam. Misalnya, jika sebuah batu dilemparkan ke dalam air, maka gelombang yang dihasilkan oleh lemparan batu itu adalah hasil atau kreasi dari batu itu, bukan hasil ciptaan Tuhan.
7. Bisyr al-Mu’tamir
Ajaran Bisyr al-Mu’tamir yang penting menyangkut pertanggungjawaban perbuatan manusia. Anak kecil baginya tidak dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya di akhirat kelak karena ia belum mukalaf. Seorang yang berdosa besar kemudian bertobat, lalu mengulangi lagi berbuat dosa besar, akan mendapat siksa ganda, meskipun ia telah bertobat atas dosa besarnya yang terdahulu.
8. Abu Musa al-Mudrar
Al-Mudrar dianggap sebagai pemimpin muktazilah yang sangat ekstrim, karena pendapatnya yang mudah mengafirkan orang lain.Menurut Syahristani,ia menuduh kafir semua orang yang mempercayai kekadiman Al-Quran. Ia juga menolak pendapat bahwa di akhirat Allah SWT dapat dilihat dengan mata kepala.
9. Hisyam bin Amr al-Fuwati
Al-Fuwati berpendapat bahwa apa yang dinamakan surga dan neraka hanyalah ilusi, belum ada wujudnya sekarang. Alas$an yang dikemukakan adalah tidak ada gunanya menciptakan surga dan neraka sekarang karena belum waktunya orang memasuki surga dan neraka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar