"WELCOME TO MY BLOG * DZIA UNTAIAN CINTA *"

Jumat, 13 Mei 2016

BIOGRAFI SYAIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYYAH [661-728 H]



BIOGRAFI SYAIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYYAH [661-728 H] 



1. SYAIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYYAH [661-728 H] 

Syaikhul Islam Taqiyuddin Abul Abbas Ahmad Bin Abdul Halim Bin Abdus Salam Bin Abdullah bin Al-Khidhir bin Muhammad bin Taimiyah An- Numairy Al Harani Adimasqi. 

Beliau Rahimahullah adalah Imam, Qudwah, ‘Alim, Zahid dan Da’i ila Allah, baik dengan kata, tindakan, kesabaran maupun jihadnya. Syaikhul Islam, Mufti Anam, pembela dinullah dan penghidup sunah Rasul shalallahu’alaihi wa sallam yang telah dimatikan oleh banyak orang.

Lahir di Harran, salah satu kota induk di Jazirah Arabia yang terletak antara sungai Dajalah (Tigris) dengan Efrat, pada hari Senin 10 Rabiu’ul Awal tahun 661H. Beliau berhijrah ke Damasyq (Damsyik) bersama orang tua dan keluarganya ketika umurnya masih kecil, disebabkan serbuan tentara Tartar atas negerinyaa. Mereka menempuh perjalanan hijrah pada malam hari dengan menyeret sebuah gerobak besar yang dipenuhi dengan kitab-kitab ilmu, bukan barang-barang perhiasan atau harta benda, tanpa ada seekor binatang tunggangan-pun pada mereka.


Suatu saat gerobak mereka mengalami kerusakan di tengah jalan, hingga hampir saja pasukan musuh memergokinya. Dalam keadaan seperti ini, mereka ber-istighatsah (mengadukan permasalahan) kepada Allah Ta’ala. Akhirnya mereka bersama kitab- kitabnya dapat selamat.


a. Pertumbuhan Dan Ghirahnya Kepada Ilmu

Semenjak kecil sudah nampak tanda-tanda kecerdasan pada diri beliau. Begitu tiba di Damsyik beliau segera menghafalkan Al-Qur’an dan mencari berbagai cabang ilmu pada para ulama, huffazh dan ahli-ahli hadits negeri itu. Kecerdasan serta kekuatan otaknya membuat para tokoh ulama tersebut tercengang.

Ketika umur beliau belum mencapai belasan tahun, beliau sudah menguasai ilmu Ushuluddin dan sudah mengalami bidang-bidang tafsir, hadits dan bahasa Arab.

Pada unsur-unsur itu, beliau telah mengkaji musnad Imam Ahmad sampai beberapa kali, kemudian kitabu-Sittah dan Mu’jam At-Thabarani Al-Kabir.

Suatu kali, ketika beliau masih kanak-kanak pernah ada seorang ulama besar dari Halab (suatu kota lain di Syria sekarang, pen.) yang sengaja datang ke Damasyiq, khusus untuk melihat si bocah bernama Ibnu Taimiyah yang kecerdasannya menjadi buah bibir. Setelah bertemu, ia memberikan tes dengan cara menyampaikan belasan matan hadits sekaligus. Ternyata Ibnu Taimiyah mampu menghafalkannya secara cepat dan tepat. Begitu pula ketika disampaikan kepadanya beberapa sanad, beliaupun dengan tepat pula mampu mengucapkan ulang dan menghafalnya. Hingga ulama tersebut berkata: “Jika anak ini hidup, niscaya ia kelak mempunyai kedudukan besar, sebab belum pernah ada seorang bocah seperti dia.

Sejak kecil beliau hidup dan dibesarkan di tengah-tengah para ulama, mempunyai kesempatan untuk mereguk sepuas-puasnya taman bacaan berupa kitab-kitab yang bermanfaat. Beliau infakkan seluruh waktunya untuk belajar dan belajar, menggali ilmu terutama kitabullah dan sunah Rasul-Nya shallallahu’alaihi wa sallam.

Lebih dari semua itu, beliau adalah orang yang keras pendiriannya dan teguh berpijak pada garis-garis yang telah ditentukan Allah, mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Beliau pernah berkata: ”Jika dibenakku sedang berfikir suatu masalah, sedangkan hal itu merupakan masalah yang muskil bagiku, maka aku akan beristighfar seribu kali atau lebih atau kurang. Sampai dadaku menjadi lapang dan masalah itu terpecahkan. Hal itu aku lakukan baik di pasar, di masjid atau di madrasah. Semuanya tidak menghalangiku untuk berdzikir dan beristighfar hingga terpenuhi cita-citaku.”

Begitulah seterusnya Ibnu Taimiyah, selalu sungguh-sungguh dan tiada putus-putusnya mencari ilmu, sekalipun beliau sudah menjadi tokoh fuqaha’ dan ilmu serta dinnya telah mencapai tataran tertinggi.



b. Pujian Ulama

Al-Allamah As-Syaikh Al-Karamy Al-Hambali dalam Kitabnya Al-Kawakib Ad-Darary yang disusun kasus mengenai manaqib (pujian terhadap jasa-jasa) Ibnu Taimiyah, berkata: “Banyak sekali imam-imam Islam yang memberikan pujian kepada (Ibnu Taimiyah) ini. Diantaranya: Al-Hafizh Al-Mizzy, Ibnu Daqiq Al-Ied, Abu Hayyan An-Nahwy, Al-Hafizh Ibnu Sayyid An-Nas, Al-Hafizh Az-Zamlakany, Al-Hafidh Adz-Dzahabi dan para imam ulama lain.

Al-Hafizh Al-Mizzy mengatakan: “Aku belum pernah melihat orang seperti Ibnu Taimiyah … dan belum pernah kulihat ada orang yang lebih berilmu terhadap kitabullah dan sunnah Rasulullahshallahu’alaihi wa sallam serta lebih ittiba’ dibandingkan beliau.”

Al-Qadhi Abu Al-Fath bin Daqiq Al-Ied mengatakan: “Setelah aku berkumpul dengannya, kulihat beliau adalah seseorang yang semua ilmu ada di depan matanya, kapan saja beliau menginginkannya, beliau tinggal mengambilnya, terserah beliau. Dan aku pernah berkata kepadanya: “Aku tidak pernah menyangka akan tercipta manasia seperti anda.”

Al-Qadli Ibnu Al-Hariry mengatakan: “Kalau Ibnu Taimiyah bukah Syaikhul Islam, lalu siapa dia ini ?” Syaikh Ahli nahwu, Abu Hayyan An-Nahwi, setelah beliau berkumpul dengan Ibnu Taimiyah berkata: “Belum pernah sepasang mataku melihat orang seperti dia…” Kemudian melalui bait-bait syairnya, beliau banyak memberikan pujian kepadanya.

Penguasaan Ibnu Taimiyah dalam beberapa ilmu sangat sempurna, yakni dalam tafsir, aqidah, hadits, fiqh, bahasa arab dan berbagai cabang ilmu pengetahuan Islam lainnya, hingga beliau melampaui kemampuan para ulama zamannya. Al-‘Allamah Kamaluddin bin Az-Zamlakany (wafat th. 727 H) pernah berkata: “Apakah ia ditanya tentang suatu bidang ilmu, maka siapa pun yang mendengar atau melihat (jawabannya) akan menyangka bahwa dia seolah-olah hanya membidangi ilmu itu, orang pun akan yakin bahwa tidak ada seorangpun yang bisa menandinginya”. Para Fuqaha dari berbagai kalangan, jika duduk bersamanya pasti mereka akan mengambil pelajaran bermanfaat bagi kelengkapan madzhab-madzhab mereka yang sebelumnya belum pernah diketahui. Belum pernah terjadi, ia bisa dipatahkan hujahnya. Beliau tidak pernah berkata tentang suatu cabang ilmu, baik ilmu syariat atau ilmu lain, melainkan dari masing-masing ahli ilmu itu pasti terhenyak. Beliau mempunyai goresan tinta indah, ungkapan-ungkapan, susunan, pembagian kata dan penjelasannya sangat bagus dalam penyusunan buku-buku.”

Imam Adz-Dzahabi rahimahullah (wafat th. 748 H) juga berkata: “Dia adalah lambang kecerdasan dan kecepatan memahami, paling hebat pemahamannya terhadap Al-Kitab was-Sunnah serta perbedaan pendapat, dan lautan dalil naqli. Pada zamannya, beliau adalah satu-satunya baik dalam hal ilmu, zuhud, keberanian, kemurahan, amar ma’ruf, nahi mungkar, dan banyaknya buku-buku yang disusun dan amat menguasai hadits dan fiqh.

Pada umurnya yang ke tujuh belas beliau sudah siap mengajar dan berfatwa, amat menonjol dalam bidang tafsir, ilmu ushul dan semua ilmu-ilmu lain, baik pokok-pokoknya maupun cabang-cabangnya, detailnya dan ketelitiannya. Pada sisi lain Adz-Dzahabi mengatakan: “Dia mempunyai pengetahuan yang sempurna mengenai rijal (mata rantai sanad), Al-Jarhu wat Ta’dil, Thabaqah-Thabaqah sanad, pengetahuan ilmu-ilmu hadits antara shahih dan dhaif, hafal matan-matan hadits yang menyendiri padanya ….. Maka tidak seorangpun pada waktu itu yang bisa menyamai atau mendekati tingkatannya ….. Adz-Dzahabi berkata lagi, bahwa: “Setiap hadits yang tidak diketahui oleh Ibnu Taimiyah, maka itu bukanlah hadist.

Demikian antara lain beberapa pujian ulama terhadap beliau.

Sejarah telah mencatat bahwa bukan saja Ibnu Taimiyah sebagai da’i yang tabah, liat, wara’, zuhud dan ahli ibadah, tetapi beliau juga seorang pemberani yang ahli berkuda. Beliau adalah pembela tiap jengkal tanah umat Islam dari kedzaliman musuh dengan pedangnya, seperti halnya beliau adalah pembela aqidah umat dengan lidah dan penanya.

Dengan berani Ibnu Taimiyah berteriak memberikan komando kepada umat Islam untuk bangkit melawan serbuan tentara Tartar ketika menyerang Syam dan sekitarnya. Beliau sendiri bergabung dengan mereka dalam kancah pertempuran. Sampai ada salah seorang Amir (penguasa) yang mempunyai diin yang baik dan benar, memberikan kesaksiannya: “…… tiba-tiba (di tengah kancah pertempuran) terlihat dia bersama saudaranya berteriak keras memberikan komando untuk menyerbu dan memberikan peringatan keras supaya tidak lari …” Akhirnya dengan izin Allah Ta’ala, pasukan Tartar berhasil dihancurkan, maka selamatlah negeri Syam, Palestina, Mesir dan Hijaz.

Tetapi karena ketegaran, keberanian dan kelantangan beliau dalam mengajak kepada al-haq, akhirnya justru membakar kedengkian serta kebencian para penguasa, para ulama [busuk] dan orang-orang yang tidak senang kepada beliau. Kaum munafiqun dan kaum lacut kemudian meniupkan racun-racun fitnah hingga karenanya beliau harus mengalami berbagai tekanan di pejara, dibuang, diasingkan dan disiksa.


c. Kehidupan Penjara

Hembusan-hembusan fitnah yang ditiupkan kaum munafiqin serta antek-anteknya yang mengakibatkan beliau mengalami tekanan berat dalam berbagai penjara, justru dihadapi dengan tabah, tenang dan gembira. Terakhir beliau harus masuk ke penjara Qal’ah di Dimasyq. Dan beliau berkata: “Sesungguhnya aku menunggu saat seperti ini, karena di dalamnya terdapat kebaikan besar.”

Dalam syairnya yang terkenal beliau juga berkata: “Apakah yang diperbuat musuh padaku !!!! Aku, taman dan dikebunku ada dalam dadaku Kemanapun ku pergi, ia selalu bersamaku dan tiada pernah tinggalkan aku. Aku, terpenjaraku adalah khalwat Kematianku adalah mati syahid. Terusirku dari negeriku adalah rekreasi.

Beliau pernah berkata dalam penjara: “ Orang dipenjara ialah orang yang terpenjara hatinya dari Rabbnya, orang yang tertawan ialah orang yang ditawan orang oleh hawa nafsunya.”

Ternyata penjara baginya tidak menghalangi kejernihan fitrah islahiyah-nya, tidak menghalanginya untuk berdakwah dan menulis buku-buku tentang Aqidah, Tafsir dan kitab-kitab bantahan terhadap ahli-ahli bid’ah.

Pengagum-pengagum beliau diluar penjara semakin banyak. Sementara di dalam penjara, banyak penghuninya yang menjadi murid beliau, diajarkannya oleh beliau agar mereka iltizam kepada syari’at Allah, selalu beristighfar, tasbih, berdoa dan melakukan amalan-amalan shahih. Sehingga suasana penjara menjadi ramai dengan suasana beribadah kepada Allah. Bahkan dikisahkan banyak penghuni penjara yang sudah mendapat hak bebas, ingin tetap tinggal di penjara bersamanya. Akhirnya penjara menjadi penuh dengan orang-orang yang mengaji.

Tetapi kenyataan ini menjadikan musuh-musuh beliau dari kalangan munafiqin serta ahlul bid’ah semakin dengki dan marah. Maka mereka terus berupaya agar penguasa memindahkan beliau dari satu penjara ke penjara yang lain. Tetapi inipun menjadikan beliau semakin terkenal. Pada akhirnya mereka menuntut kepada pemerintah agar beliau dibunuh, tetapi pemerintah tidak mendengar tuntutan mereka. Pemerintah hanya mengeluarkan surat keputusan untuk merampas semua peralatan tulis, tinta dan kertas-kertas dari tangan Ibnu Taimiyah.

Namun beliau tetap berusaha menulis di tempat-tempat yang memungkinkan dengan arang. Beliau tulis surat-surat dan buku-buku dengan arang kepada sahabat dan murid-muridnya. Semua itu menunjukkan betapa hebatnya tantangan yang dihadapi, sampai kebebasan berfikir dan menulis pun dibatasi. Ini sekaligus menunjukkan betapa sabar dan tabahnya beliau. Semoga Allah merahmati, meridhai dan memasukkan Ibnu Taimiyah dan kita sekalian ke dalam surganya.



d. Wafatnya

Beliau Rahimahullah wafat di dalam penjara Qal’ah Dimasyq disaksikan oleh salah seorang muridnya yang menonjol, Al-‘Allamah al-Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah.

Beliau berada di penjara ini selama dua tahun tiga bulan dan beberapa hari, mengalami sakit dua puluh hari lebih. Selama dalam penjara beliau selalu beribadah, berdzikir, tahajjud dan membaca Al-Qur’an. Dikisahkan, dalam tiap harinya ia baca tiga juz. Selama itu pula beliau sempat menghatamkan Al-Qur’an delapan puluh atau delapan puluh satu kali.

Perlu dicatat bahwa selama beliau dalam penjara, tidak pernah mau menerima pemberian apa pun dari penguasa.

Jenazah beliau dishalatkan di masjid Jami’ Bani Umayah sesudah shalat Zhuhur. Semua penduduk Dimasyq (yang mampu) hadir untuk menshalatkan jenazahnya, termasuk para Umara’, Ulama, tentara dan sebagainya, hingga kota Dimasyq menjadi libur total hari itu. Bahkan semua penduduk Dimasyq (Damaskus) tua, muda, laki, perempuan, anak-anak keluar untuk menghormati kepergian beliau.

Seorang saksi mata pernah berkata: “Menurut yang aku ketahui tidak ada seorang pun yang ketinggalan, kecuali tiga orang musuh utamanya. Ketiga orang ini pergi menyembunyikan diri karena takut dikeroyok masa. “Bahkan menurut ahli sejarah, belum pernah terjadi jenazah yang dishalatkan serta dihormati oleh orang sebanyak itu melainkan Ibnu Taimiyah dan Imam Ahmad bin Hambal.

Beliau wafat pada tanggal 20 Dzul Hijjah th. 728 H, dan dikuburkan pada waktu Ashar di samping kuburan saudaranya Syaikh Jamal Al-Islam Syarafuddin. Semoga Allah merahmati Ibnu Taimiyah, tokoh Salaf, da’i, mujahid, pembasmi bid’ah dan pemusnah musuh. Wallahu a’lam

BIOGRAFI IMAM SYAFI”I

BIOGRAFI IMAM SYAFI”I


Kebanyakan ahli sejarah berpendapat bahwa Imam Syafi'i lahir di Gaza, Palestina, namun di antara pendapat ini terdapat pula yang menyatakan bahwa dia lahir di Asqalan; sebuah kota yang berjarak sekitar tiga farsakh dari Gaza. Menurut para ahli sejarah pula, Imam Syafi'i lahir pada tahun 150 H, yang mana pada tahun ini wafat pula seorang ulama besar Sunni yang bernama Imam Abu Hanifah.

Nasab
Imam Syafi'i merupakan keturunan dari al-Muththalib, jadi dia termasuk ke dalam Bani Muththalib. Nasab Beliau adalah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin As-Sa’ib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin Al-Mutthalib bin Abdulmanaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Nasabnya bertemu dengan Rasulullah di Abdul-Manaf.

Dari nasab tersebut, Al-Mutthalib bin Abdi Manaf, kakek Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie, adalah saudara kandung Hasyim bin Abdi Manaf kakek Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .

Kemudian juga saudara kandung Abdul Mutthalib bin Hasyim, kakek Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam , bernama Syifa’, dinikahi oleh Ubaid bin Abdi Yazid, sehingga melahirkan anak bernama As-Sa’ib, ayahnya Syafi’. Kepada Syafi’ bin As-Sa’ib radliyallahu `anhuma inilah bayi yatim tersebut dinisbahkan nasabnya sehingga terkenal dengan nama Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie Al-Mutthalibi. Dengan demikian nasab yatim ini sangat dekat dengan Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .

Bahkan karena Hasyim bin Abdi Manaf, yang kemudian melahirkan Bani Hasyim, adalah saudara kandung dengan Mutthalib bin Abdi manaf, yang melahirkan Bani Mutthalib, maka Rasulullah bersabda:
“ Hanyalah kami (yakni Bani Hasyim) dengan mereka (yakni Bani Mutthalib) berasal dari satu nasab. Sambil beliau menyilang-nyilangkan jari jemari kedua tangan beliau. ”
—HR. Abu Nu’aim Al-Asfahani dalam Hilyah nya juz 9 hal. 65 - 66

Masa belajar
Setelah ayah Imam Syafi’i meninggal dan dua tahun kelahirannya, sang ibu membawanya ke Mekah, tanah air nenek moyang. Ia tumbuh besar di sana dalam keadaan yatim. Sejak kecil Syafi’i cepat menghafal syair, pandai bahasa Arab dan sastra sampai-sampai Al Ashma’i berkata,”Saya mentashih syair-syair bani Hudzail dari seorang pemuda dari Quraisy yang disebut Muhammad bin Idris,” Imam Syafi’i adalah imam bahasa Arab.

Belajar di Makkah
Di Makkah, Imam Syafi’i berguru fiqh kepada mufti di sana, Muslim bin Khalid Az Zanji sehingga ia mengizinkannya memberi fatwah ketika masih berusia 15 tahun. Demi ia merasakan manisnya ilmu, maka dengan taufiq Allah dan hidayah-Nya, dia mulai senang mempelajari fiqih setelah menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan sya’irnya. Remaja yatim ini belajar fiqih dari para Ulama’ fiqih yang ada di Makkah, seperti Muslim bin khalid Az-Zanji yang waktu itu berkedudukan sebagai mufti Makkah.

Kemudian beliau juga belajar dari Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, juga belajar dari pamannya yang bernama Muhammad bin Ali bin Syafi’, dan juga menimba ilmu dari Sufyan bin Uyainah.

Guru yang lainnya dalam fiqih ialah Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin Al-Ayyadl dan masih banyak lagi yang lainnya. Dia pun semakin menonjol dalam bidang fiqih hanya dalam beberapa tahun saja duduk di berbagai halaqah ilmu para Ulama’ fiqih sebagaimana tersebut di atas.

Belajar di Madinah
Kemudian beliau pergi ke Madinah dan berguru fiqh kepada Imam Malik bin Anas. Ia mengaji kitab Muwattha’ kepada Imam Malik dan menghafalnya dalam 9 malam. Imam Syafi’i meriwayatkan hadis dari Sufyan bin Uyainah, Fudlail bin Iyadl dan pamannya, Muhamad bin Syafi’ dan lain-lain.

Di majelis beliau ini, si anak yatim tersebut menghapal dan memahami dengan cemerlang kitab karya Imam Malik, yaitu Al-Muwattha’. Kecerdasannya membuat Imam Malik amat mengaguminya. Sementara itu As-Syafi`ie sendiri sangat terkesan dan sangat mengagumi Imam Malik di Al-Madinah dan Imam Sufyan bin Uyainah di Makkah.

Beliau menyatakan kekagumannya setelah menjadi Imam dengan pernyataannya yang terkenal berbunyi: “Seandainya tidak ada Malik bin Anas dan Sufyan bin Uyainah, niscaya akan hilanglah ilmu dari Hijaz.” Juga beliau menyatakan lebih lanjut kekagumannya kepada Imam Malik: “Bila datang Imam Malik di suatu majelis, maka Malik menjadi bintang di majelis itu.” Beliau juga sangat terkesan dengan kitab Al-Muwattha’ Imam Malik sehingga beliau menyatakan: “Tidak ada kitab yang lebih bermanfaat setelah Al-Qur’an, lebih dari kitab Al-Muwattha’ .” Beliau juga menyatakan: “Aku tidak membaca Al-Muwattha’ Malik, kecuali mesti bertambah pemahamanku.”

Dari berbagai pernyataan beliau di atas dapatlah diketahui bahwa guru yang paling beliau kagumi adalah Imam Malik bin Anas, kemudian Imam Sufyan bin Uyainah. Di samping itu, pemuda ini juga duduk menghafal dan memahami ilmu dari para Ulama’ yang ada di Al-Madinah, seperti Ibrahim bin Sa’ad, Isma’il bin Ja’far, Atthaf bin Khalid, Abdul Aziz Ad-Darawardi. Ia banyak pula menghafal ilmu di majelisnya Ibrahim bin Abi Yahya. Tetapi sayang, guru beliau yang disebutkan terakhir ini adalah pendusta dalam meriwayatkan hadits, memiliki pandangan yang sama dengan madzhab Qadariyah yang menolak untuk beriman kepada taqdir dan berbagai kelemahan fatal lainnya. Sehingga ketika pemuda Quraisy ini telah terkenal dengan gelar sebagai Imam Syafi`ie, khususnya di akhir hayat beliau, beliau tidak mau lagi menyebut nama Ibrahim bin Abi Yahya ini dalam berbagai periwayatan ilmu.

Di Yaman
Imam Syafi’i kemudian pergi ke Yaman dan bekerja sebentar di sana. Disebutkanlah sederet Ulama’ Yaman yang didatangi oleh beliau ini seperti: Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadli dan banyak lagi yang lainnya. Dari Yaman, beliau melanjutkan tour ilmiahnya ke kota Baghdad di Iraq dan di kota ini beliau banyak mengambil ilmu dari Muhammad bin Al-Hasan, seorang ahli fiqih di negeri Iraq. Juga beliau mengambil ilmu dari Isma’il bin Ulaiyyah dan Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi dan masih banyak lagi yang lainnya.

Di Baghdad, Irak
Kemudian pergi ke Baghdad (183 dan tahun 195), di sana ia menimba ilmu dari Muhammad bin Hasan. Ia memiliki tukar pikiran yang menjadikan Khalifah Ar Rasyid.

Di Mesir
Imam Syafi’i bertemu dengan Ahmad bin Hanbal di Mekah tahun 187 H dan di Baghdad tahun 195 H. Dari Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syafi’i menimba ilmu fiqhnya, ushul madzhabnya, penjelasan nasikh dan mansukhnya. Di Baghdad, Imam Syafi’i menulis madzhab lamanya (madzhab qodim). Kemudian beliu pindah ke Mesir tahun 200 H dan menuliskan madzhab baru (madzhab jadid). Di sana beliau wafat sebagai syuhadaul ilm di akhir bulan Rajab 204 H.

Karya imam syafi”i

Ar-Risalah
Salah satu karangannya adalah “Ar risalah” buku pertama tentang ushul fiqh dan kitab “Al Umm” yang berisi madzhab fiqhnya yang baru. Imam Syafi’i adalah seorang mujtahid mutlak, imam fiqh, hadis, dan ushul. Ia mampu memadukan fiqh ahli Irak dan fiqh ahli Hijaz. Imam Ahmad berkata tentang Imam Syafi’i,”Beliau adalah orang yang paling faqih dalam Al Quran dan As Sunnah,” “Tidak seorang pun yang pernah memegang pena dan tinta (ilmu) melainkan Allah memberinya di ‘leher’ Syafi’i,”. Thasy Kubri mengatakan di Miftahus sa’adah,”Ulama ahli fiqh, ushul, hadits, bahasa, nahwu, dan disiplin ilmu lainnya sepakat bahwa Syafi’i memiliki sifat amanah (dipercaya), ‘adaalah (kredibilitas agama dan moral), zuhud, wara’, takwa, dermawan, tingkah lakunya yang baik, derajatnya yang tinggi. Orang yang banyak menyebutkan perjalanan hidupnya saja masih kurang lengkap,”

Mazhab Syafi'i
Dasar madzhabnya: Al Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Beliau juga tidak mengambil Istihsan (menganggap baik suatu masalah) sebagai dasar madzhabnya, menolak maslahah mursalah, perbuatan penduduk Madinah. Imam Syafi’i mengatakan,”Barangsiapa yang melakukan istihsan maka ia telah menciptakan syariat,”. Penduduk Baghdad mengatakan,”Imam Syafi’i adalah nashirussunnah (pembela sunnah),”

Al-Hujjah
Kitab “Al Hujjah” yang merupakan madzhab lama diriwayatkan oleh empat imam Irak; Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Za’farani, Al Karabisyi dari Imam Syafi’i.

Al-Umm
Sementara kitab “Al Umm” sebagai madzhab yang baru Imam Syafi’i diriwayatkan oleh pengikutnya di Mesir; Al Muzani, Al Buwaithi, Ar Rabi’ Jizii bin Sulaiman. Imam Syafi’i mengatakan tentang madzhabnya,”Jika sebuah hadits shahih bertentangan dengan perkataanku, maka ia (hadis) adalah madzhabku, dan buanglah perkataanku di belakang tembok,”

BIOGRAFI IMAM AN-NAWAWI [631-676 H]



BIOGRAFI IMAM AN-NAWAWI [631-676 H] 

Nasabnya: 

Beliau adalah Al-Imam Al-Hafizh Syaikhul Islam Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syarf bin Muriy bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jam’ah bin Hizaam An-Nawawi, dinasabkan dengan Kota Nawa sebuah dusun di daerah Hauran, Suria, dari Damaskus sekitar dua hari perjalanan. Beliau seorang bermadzhab Asy-Syafi’i, Syaikhul Madzhab dan seorang fuqaha besar di zamannya.

Lahir di bulan Muharam tahun 631 Hijriyah di desa Nawa dari dua orang tua yang shaleh. Ketika berumur sepuluh tahun mulai menghafal Al-Qur’an dan bacaan-bacaan fiqih pada para ulama di sana.



Keilmuan Beliau:

Pada suatu hari ada seorang syaikh yang melewati desa itu, yakni syaikh Yasin bin Yusuf Al-Maraakisyi. Beliau melihat seorang anak yang tidak suka bermain-main. bahkan lari darinya sambil menangis karena tidak sukanya, dan lebih suka membaca Al-Qur’an. Maka pergilah beliau menemui kedua orang tuanya dan menasehatkan supaya anak itu dikhususkan untuk menimba ilmu. Usulan itu pun diterima. Pada tahun 649 Hijriyah diajak bapaknya untuk mendapatkan ilmu yang lebih sempurna di Madrasah Daarul Hadits, dan tinggal di Madrasah Ar-Rawaahiyah yang berada di pojok timur dari masjid Al-Umawi, Damaskus. Dan beliau di sana menghafal kitab At-Tanbiih selama empat setengah bulan, dan hafal seperempat bab ibadah dari Kitab At-Tahdzib sisa tahunnya. Dan dalam waktu yang singkat dapat mengundang kekaguman ustadz beliau Abi Ibrahim Ishaq bin Ahmad Al-Maghribi, dan menjadikannya asisten dalam pelajarannya.

Beliau rahimahullah adalah seorang yang mempunyai wawasan ilmu dan tsaqafah yang luas. Ini dapat dilihat dalam kesungguhannya menimba ilmu. Berkata salah seorang muridnya, yakni ‘Ala-uddin Ibnill ‘Aththar, bahwa beliau setiap hari mempelajari dua belas pelajaran baik syarahnya maupun tashhihnya pada para syaikh beliau. Dua pelajaran pengantar, satu pelajaran muhadzdzab (sopan santun), satu pelajaran gabungan dari dua kitab shahih (Bukhari dan Muslim), satu pelajaran tentang shahih Muslim, satu pelajaran kitab Al Lam’u oleh Ibnu Jinni dalam pelajaran nahwu, satu pelajaran dalam lshlahul Manthiq oleh Ibnu As Sikiit dalam pelajaran bahasa, satu pelajaran sharaf, satu pelajaran Ushul Fiqh, dan kadang kitab Al-Lam ‘u oleh Abi Ishaq dan kadang Al-Muntakhab oleh Fakhrur Raazi; dan satu pelajaran tentang Asma’u Rijal, satu pelajaran Ushuluddin, dan adalah beliau menulis semua hal yang bersangkutan dengan semua pelajaran ini, baik mengenai penjelasan kemusykilannya maupun penjelasan istilah serta detail bahasanya.

Beliau adalah seorang yang tekun dan telaten dalam mudzakarah dan belajar siang dan malam, selama sekitar dua puluh tahun hingga mencapai puncaknya. Dan beliau tidak makan kecuali sekali saja yakni ketika sahur. Beliau seorang yang banyak melakukan shaum dan belum beristri.

Hasilnya tampak jelas ketika beliau mulai mengarang kitab tahun 660 H. Ketika itu beliau berumur 30 tahun. Sebagian karangan beliau yang paling penting adalah Syarh Shahih Muslim, Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, Riyaadhush Shalihin, Al-Adzkar, Tahdzibul Asma’ wa Al-Lughaat, Arba’iin An-Nawawiyah dan Minhaaj fil Fiqhi.



Seorang Alim Penasehat:

Dalam diri Imam Nawawi tercermin sifat-sifat alim, suka memberi nasehat, seorang yang berjihad di jalan Allah dengan lisannya, menegakkan kewajiban beramar ma’ruf nahi mungkar. Seorang yang mukhlish dalam memberi nasehat, tidak mempunyai tendensi apapun, seorang yang pemberani, tidak takut celaan di jalan Allah terhadap orang yang mencelanya. Seorang yang mempunyai bayan dan hujjah untuk memperkuat dakwaannya.

Beliau dijadikan rujukan oleh manusia bila mereka menghadapi perkara yang sulit dan pelik, serta minta fatwa kepadanya. Dan beliau menanggapinya serta berusaha memecahkan permasalahannya, seperti ketika berkenaan dengan hukum penyitaan atas dua taman di Syam; ketika Damaskus kedatangan penguasa dari Mesir, dari Raja Bibiris, setelah mereka dapat mengusir pasukan Tartar, maka wakil (pejabat) baitul maal menyangka bahwa kebanyakan dari taman-taman yang berada di Syam tersebut adalah milik negara. Maka sang raja memerintahkan untuk memagarinya, yakni menyitanya.

Maka orang-orang melaporkan hal itu kepada Imam An-Nawawi di Daarul Hadits. Kemudian beliau menulis surat kepada sang penguasa yang dinyatakan di dalamnya sebagai berikut:

“Kaum muslimin merasa dirugikan atas adanya penyitaan hak milik mereka, oleh karena itu mereka menuntut supaya hak milik mereka dikembalikan. Dan penyitaan ini tidak dihalalkan oleh seorang ulama’ pun dari kalangan kaum muslimin. Karena barangsiapa yang di tangannya sesuatu maka dialah pemiliknya, tidak boleh seorang pun merampasnya dan tidak dibenarkan menjadikannya sebagai status miliknya.”

Maka marahlah sang penguasa tersebut terhadap nasehat yang ditujukan kepadanya itu, lalu ia memerintahkan supaya gaji syaikh itu dihentikan dan dicopot dari jabatannya. Akan tetapi orang-orang menyatakan bahwa syaikh itu tidak mendapat gaji dan tidak pula mempunyai jabatan. Akhirnya ketika penguasa itu memandang bahwa tidak bermanfaat lagi surat-menyurat, maka ia pergi sendiri untuk menemui Imam An-Nawawi dan hendak mengumpatnya habis-habisan dan ia ingin mengamuknya. Akan tetapi Allah memalingkan hati penguasa itu dari berbuat yang demikian itu dan melindungi Imam An-Nawawi dari hal semacam itu. Bahkan sang penguasa itu kemudian mencabut penyitaan dan manusia pun dilepaskan Allah dari kejahatannya.



Wafatnya beliau:

Beliau rahimahullah wafat pada tahun 676 Hijriyah setelah menziarahi kubur para guru-gurunya, mengunjungi para sahabat-sahabatnya serta menyatakan selamat berpisah dengan mereka, dan setelah mengunjungi orang tua dan berziarah ke Masjidil Aqsa dan kuburan Nabi Ibrahim. Kemudian ia kembali ke Desa Nawa dan kemudian sakit lalu diikuti dengan meninggalnya beliau pada tanggal 24 Rajab. Ketika khabar wafatnya beliau sampai di Damaskus, maka manusia menjadi terkejut dan menangis. Dan kaum muslimin sangat menyayangkan sekali akan wafatnya beliau. Maka Qadhi Al-Qudhat Izzuddin Muhammad bin Ash-Shaigh dan serombongan shahabatnya berangkat ke Nawa untuk bertakziyah dan menshalatinya di kuburnya.



BIOGRAFI IBNU JARIR AT-THABARI [224-310 H]



BIOGRAFI IBNU JARIR AT-THABARI [224-310 H]

Nama lengkap at-Tabari adalah Abu Ja’far Muhammad Ibnu Ja’far Ibnu Yazid Ibnu Kasir Ibnu Ghalib at-Tabari, lahir di Tobaristan di kota amul, kota ini merupakan salah satu propinsi di Persia dan terletak di sebelah utara gunung Alburz, selatan laut Qazwin tahun 224/225 hijriah 839/840 Masehi. At-tabari di ambil dari nama daerah tempat beliau lahir yakni Tabaristan, dan abu ja'far di ambil dari sebutan orang agung di zaman nya, beliau banyak menghabiskan waktu di bagdad irak. didalam hidupnya, beliau menghabiskan hari - hari dengan menulis dan mengajar. muridnya menyebutkan bagaimana gurunya menghabiskan hidupnya dengan menulis dan mengajar, beliau sanggup menulis 40 bahkan lebih karya ilmiah dan mengajar ilmu furu' lainnya selepas menulis.

At-Tabari pertama berangkat ke kota Rayy, Iran di daerah ini imam Thabari mempelajari hadist nabi dan Dari daerah ini pula, ia berkesempatan belajar sejarah dari Muhammad Ibnu Ahmad ibnu Hammad al-Daulabi dan beliau belajar ilmu fiqh dari ibnu muqatil. Setelah itu ia pindah ke kota Baghdad dengan maksud menemui dan belajar kepada Imam Ahmad bin Hanbal. Namun sebelum ia sampai ke kota tersebut, Imam Hanbali meninggal dunia (241 H/855 M). Lalu beliau mengalihkan perjalan ke basrah, akan tetapi sebelum ia sampai ke kota tersebut ia mampir ke kota wasit untuk mendengarkan pelajaran. Setelah itu beliau melanjutkan perjalanan ke kota kota Kufah untuk mendalami hadis dan ilmu-ilmu yang terkait dengannya. disilah ia mempelajari qiraat dari guru nya sulaiman at tulh.

Inilah sekilas dari kehidupan mencari ilmu beliau, beliau terkenal sangat gigih dalam mencari ilmu dimana mana, di setiap perjalannya ia menemui ulama ulama yang terkenal dari bidang nya masing masing,

Ø KARYA-KARYA

Karya beliau sangat banyak tapi sampai pada generasi sekarang hanya seikit sekali, berikut penulis akan memaparkan sebagian karya - karya beliau :

1. kitab adabul manasik

2. tarikh al-uma

3. adabul qadha'

4. kitab syara' al islam

5. Kitab Ikhtilaful ulama’ ataupun Ikhtilaful Fuqoha’ atau Ikhtilafu Ulama’il Amshor fie Akhkami Syaroi’il Islam

6. kitab al basith

7. kitab tarikh rajal

8. kitab at-tabsir

9. Kitab Tahdzib Atsar wa Tafsiilust Tsabit ‘Ani Rasulullah Saw Minal Akhbar

10. jami' fil qiraat 11. Kitab Haditsul Yaman

12. Kitab Ar Rad ‘Ala Ibni ‘Abdil Hakim

13.Kitab az- Zakat

14. Kitab Al ‘Aqidah

15. Kitabul fadhail

16. Kitab Fadhail Ali Ibni Thalib

17. Kitab Mukhtashar Al Faraidz

18. Kitab Al Washaya.


karyanya yang paling masyur adalah Jami' al-Bayan Fi tafsir al-Qur'an atau yang terkenal dengan kitab tafsir tabari. kitab ini berisi fiqih,akidah yang disimpulkan dari alqur'an. ketika beliau menyusun kitab ini, beliau mengumpulkan tafsir bilma'sur ( Al,qur an dengan Al, qur an, Al,qur an dengan hadits ). Dan karena tafsir inilah beliau dijuluki Ulama al-Mufassirun.


Ø Murid-Muridnya Dan Guru-Guru beliau

Beliau banyak bersafar dan berguru dengan ahli sejarah, ahli hadits dan lai-lain. Beliau juga salah seorang yang memiliki ilmu seperti lautan, cerdas, banyak karangannya dan belum ada yang menyamainya. Banyak kota-kota yang ia singgahi, kadang kala ia tidak puas dengan hanya memasukinya sekali, ia masuk ke kota tersebut beberapa kali untuk memuaskan hasrat keilmuannya. Di antara kota-kota tersebut adalah Baghdad, di kota ini ia mengambil mazhab Syafi’iyyah dari Hasan Za’farani, kemudian Bashrah, di kota ini ia belajar hadits kepada Abu Abdullah as-Shan’ani, lalu di Kufah, di sana ia belajar ilmu puisi kepada Tsa’lab dan masih banyak lagi kota lainnya seperti Mesir, Beirut dan Damaskus. Pada akhirnya Imam Thobari sempat pulang ke tanah kelahirannya di Thobaristan pada tahun 290 H, tapi tak lama kemudian kembali ke Baghdad dan menjadikannya tempat persinggahan terakhir untuk mencurahkan seluruih aktifitas ilmiyahnya hingga beliau wafat.

Guru beliau 40 orang lebih, diantaranya: “Muhammad bin Abdul Malik in Abi Asy Syawarib, Ismail bin Musa As Suddi, Ishaq bin Abi Isroil, Muhammad bin Abi Ma’sar, Muhammad bin Au fat-Tha’i, Musa bin Sahal ar-Ramali, Muhammad bin Abdullah dan yang lainnya. (didalam tafsir beliau didapatkan, bahwa guru beliau berjumlah 62 guru). Imam al-Nawawi menambahkan sejumlah nama guru at-Thabari lainnya, terutama mereka yang juga menjadi guru al-Bukhari dan Muslim dalam bidang hadits, seperti Abd al-Malik ibn Abu al-Syawarib, Ahmad ibn Mani` al-Baghawi, al-Walid ibn Syuja`, Abu Kuraib Muhammad ibn al-`Ala’, Ya`qub ibn Ibrahim al-Dauraqi, Abu Sa`id al-Asyaj, `Amr ibn Ali, Muhmmad ibn al-Mutsanna dan Muhammad ibn Yasar.Karena kedalaman ilmu Imam ath-Thabari, maka wajar saja bila orang-orang ketika itu berlomba untuk menampung samudera ilmu yang terpancar dari beliau. 

Di antara sekian banyak ulama yang mengambil ilmu dari beliau : Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Nashr, Ahmad bin Qasim bin Ubaidillaah bin Mahdi, Sulaiman bin Ahmad bin Ayub al-Lakhmi, Muhammad bin Ahmad bin Hamdan bin Ali.Teman-teman dari Ibnu Jarir ath-Thabari, di antaranya : Ahmad bin Abdullah bin Ahmad al-Farghani,ia juga meriwayatkan karangan dari Ibnu Jarir, di antara karangan al-Faraghani adalah Sirah al-Aziz Sulthan al-Mishr dan kitab Sirah Kafur al-Ihsyidi. Ibnu Yazid Abi Bakar al-Qardhi, yang menjadi hakim di daerah Kufah, di antara karangannya adalah kiab Gharib al-Quran, kitab al-Qiraat, kitab at-Taqrib fi Kasyfi al-Gharib, dan kitab al-Mukhtashar fi al-Fiqh.


tentang dzia untaian cinta