"WELCOME TO MY BLOG * DZIA UNTAIAN CINTA *"

Minggu, 24 April 2016

CERITA RAKYAT ACEH – “GLEE KAPAI” (BUKIT KAPAL).

 “Glee Kapai” (Bukit Kapal).

Tersebutlah sebuah desa yang berada di sekitar Krueng (Sungai) Peusangan, desa yang menyimpan ribuan misteri dan cerita yang menjadi tauladan dalam hidup. Cerita yang akan terus dikenang oleh masyarakat disana dan diceritakan kepada masyarakat lainnya juga. Desa yang berjejer rumah – rumah gubuk di sepanjang jalan dalam desa ini terkenal dengan seorang pemuda yang tampan, bijak, pandai, rajin dan berbakti kepada orang tua.

Amat (Ahmad) Rhang Manyang, itulah nama pemuda yang mulai menginjak usia remaja ini. Remaja yang biasa disapa Amad ini menyibukkan diri dalam kesehariannya sebagai buruh tani di desa. Hanya menamatkan pendidikan dasar di dayah desa seberang, dia menggali ilmu – ilmu yang terpendam di lingkungannya, belajar pada alam dan bertanya pada Tuhan. Tak ada keputusasaan dalam menjalani hidup meski terkadang harus makan nasi 2 kali sehari, baginya itulah rezeki yang sudah ditentukan setelah berusaha dan berdoa.

Waktu yang terus berputar telah membawa Amat sebagai pemuda yang di sanjung di desa. Pergaulan yang telah luas mengajari Amat untuk hidup lebih mandiri lagi. Apalagi sekarang dia hanya tinggal di sebuah gubuk bambu dengan ibunya yang telah renta. Penghasilan dari buruh tani mulai terasa kurang dan ini harus diatasi oleh Amat.

“Mak, bukan Amad tidak lagi bisa bersyukur atas rezeki yang telah diberikan Allah, tetapi alangkah baiknya jika Amad mencari kerja ke luar desa”, Kata Amad pada suatu sore pada Mamaknya sambil menikmati ubi rebus dengan duduk beralaskan tikar tua.

“Tapi kita masih bisa mencari rezeki disini Nyak”, Jawab Mamak

“Betul Mak, bukan pula aku bosan bekerja seperti ini di desa, tetapi bukankah berusaha itu wajib? Bukankah bekerja itu juga ibadah? Jadi apa salahnya jika Amad pergi merantau?”, Ahmad berbicara datar sambil menyandarkan kepalanya ke lutut Mamaknya yang melukiskan dekatnya dua insan ini dalam kemanjaan Ibu dan Anak.

Sambil membelai lembut rambut ikal di kepala Amad dan memandang dalam – dalam ke anaknya, Mak Minah berujar “Haruskah Ananda merantau meninggalkan Emakmu disini sendiri, dalam kesepian dan dalam kepapaan?”.

Amad tersentak dengan kata – kata yang keluar dari bibir perempuan yang sedang mengusap lengan legamnya itu.

“Mak, bukan begitu maksud Amad, anak mana yang tega meninggalkan ibunya jika kepergiannya itu tidak mendesak dan untuk kepentingan Emaknya juga? Mak, Amad merantau untuk membahagiakan Emak, untuk hidup seperti hidup orang lain. Bahagia dunia akhirat”. seakan hendak bersimpuh dengan meneteskan airmata ketulusan Amad berujar dengan terbata – bata takut hati Emaknya sedih.

Setelah mengobrol cukup lama, akhirnya Mak Minah tak bisa menahan lagi keinginannya anak satu – satunya dan penyangga hidupnya selama ini. Tempat dia bercerita dan menyunggingkan senyum.

Hari terus berlalu hingga tibalah saatnya Amad berangkat dengan perlengkapan seadanya. Dia hendak merantau ke negeri seberang dan perjalanan akan dilalui dengan Kapal air dari Krueng Peusangan.

“Nyak, rajinlah beribadah disana, rajinlah berdoa dan tegarlah dalam berusaha. Hidup di negeri orang harus membawa bekal ilmu dan akhlak dari asalmu. Janganlah mereka mengubahmu tapi tularkan kebaikan pada mereka”. ujar Mak Mina.

“Mak, akan Amad ingat pesan Mak sebagai pendamping dalam bekerja. Amad hanya akan pergi beberapa tahun dan akan kembali untuk bersama Emak. Jaga diri Emak baik – baik”.

Mereka saling melemparkan kata-kata perpisahan hingga suarasirine kapal mulai terdengar. Memegang tangan Mak Minah, memeluk dan mencium kening penuh rona tua dan akhirnya berlutut mencium kaki Emaknya, Ahmad pamitan dan berangkat merantau. Mak Minah masih berdiri di dermaga menatap hilangnya kapal yang ditelan berlikunya Krueng Peusangan. Airmata bercucuran karena inilah pertama mereka berpisah setelah hidup belasan tahun bersama-sama. Ketika hari beranjak senja, Mak Minah pun melangkahkan kaki-kaki gontainya menuju gubuk tua.

Kapal terus berlayar menyusuri sungai yang jernih dengan lompatan ikan – ikan didalamnya. Amad terpesona dengan keindahan panorama sungai dan hutan disekelilingnya yang rimbun, hijau dan anggun. Kini kapal telah membelah laut menuju negeri seberang, negeri idaman Amad, negeri yang akan mewujudkan cita-citanya.

Singkat cerita akhirnya Amaad tiba dinegeri seberang dan bekerja pada seorang saudagar kaya. Dia diterima sebagai tukang pikul barang-barang di dermaga. Amad bekerja dengan tekun, berdoa dengan ikhlas dan mendoakan kedua orang tuanya.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tak terasa lebih sepuluh almanak Ahmad telah hidup di rantau orang. Negeri yang kini telah ditaklukan dengan ilmu dan nasehat yang pernah diajarkan Mak Minah. Ahmad telah menjadi orang terpandang di sana, dan kini juga telah menjadi bangsawan setelah mempersunting anak saudagar tempatnya bekerja. Tuan Amad kini harus mengurus usaha mertuanya dan itu sangat menyita waktu. Tak ada lagi waktu beribadah dan tak dibutuhkan lagi berdoa. Semua terkikis tergores batu kemewahan dan kenikmatan dunia.

“Kanda, Dinda rindu akan kampung halaman Kanda!” istri Amad berkata dengan kejujuran ketika mereka berjalan di taman yang mewah.

“Tapi Kanda sibuk sayang, tak ada waktu untuk bisa meninggalkan ini semua” Amad berekilah

“Bukankah Kanda pernah berjanji akan membawa Dinda berkunjung ke Negri Kanda dan bertemu Ibunda disana? Bukankah janji harus ditepati?” Istri Amad mulai merayu dengan kata – kata manis sehingga luluhlah hati Amad.

Dalam kesendirian Amad juga merindukan kampung halamannya, Krueng Peusangan, Emaknya, dan sahabat-sahabatnya.

Setelah semua dipersiapkan, berangkatlah sebuah kapal mewah untuk mengarungi lautan menuju ke Tanah Rencong, tanah kelahiran Tuanku Ahmad Rahmanyang. Perlengkapan yang berkecukupan dan pengawal yang gagah berani turut menyertai pelayaran ini.

“Kanda, inikah tanah yang pernah Kanda ceritakan? Inikah hutan dan sungai yang indah itu?” ujar Istri Amad dengan takjubnya.

“Iya Dinda. Dan sebentar lagi kita akan sampai di Istana Kakanda Ya..!”, Amad menceritakn kisah bahwa dia adalah anak saudagar dari bandar Peusangan.

Setibanya di dermaga Krueng Peusangan semua kru dan pengawal turun dan melihat keindahan alam Peusangan.

Mak Minah yang mendengar kepulangan Amad bergegas menuju dermaga, tak lupa juga dia membungkuskan makanan kesukaaan anaknya. Hatinya berbunga – bunga dan rasa sakit yang selama ini di deritanya seakan sembuh total.

“Alhamdulilah Ya Allah, Engkau telah kabulkan doa hamba ini…!”, bisik lirih hati Mak Minah sambil melangkah lamban ke dermaga.

Amad sedang bercanda dengan sahabat – sahabat lamanya, dengan penduduk yang masih mengenalnya dan suara wibawanya ketika Mak Minah juga tiba disana.

“Amad,, Amad,, Amad anakku!”, panggil Mak Minah sambil menyeruak dalam kerumanan manusia yang sedang meneriman bingkisan dari Amad.

“Amad, lihatlah Emakmu ini Nyak. Amad…!!” Mak Minah terus berteriak tapi Amad seakan tak mendengar sehingga istrinya berbisik.

“Kanda, ada ibu tua yang memanggil Kanda. Dia memanggil “anak” kepada Kanda, siapakah dia?” Bisik Istrinya

“Kanda tak kenal Dinda, mungkin penduduk baru disini..!”, kata Amad dengan suara yang terdengar oleh Emaknya.

“Amad, ini Emakmu Nyak!” kata Mak Minah lagi ketika mereka sudah berhadap hadapan.

“Emak, aku tak punya Emak seperti kamu, Orang tuaku adalah saudagar bukan fakir sepertimu”, Amad berontak dalam dirinya dan demi menjaga wibawa dihadapan Istri dan pengawalnya dia rela tak mengakui Emaknya.

“Amad, ini Emakmu, lupakah kamu kepada Emak?”, tanya Mak Minah sambil menangis.

“Aku tak lupa, tapi karena kau bukan Emakku maka aku tak kenal. Pengawal, tangkap perempuan ini dan seret dia jauh dari hadapanku!”, perintah Amad kepada pengawal.

Lalu beberapa pengawal menyeret Mak Minah, dengan muka basah airmata Mak Minah berdiri, melemparkan tongkat dan berujar

“Ya Allah, jika benar saudagar yang berdiri di depanku ini adlah Amad maka kutuklah dia bersama pengawal dan harta bendanya menjadi bukit …!”, doa Mak Minah terhenti ketika petir mulai menyambar. Ahmad tersentak tapi semua sudah terlambat, doa ibu renta begitu cepat dikabulkan terhadap anaknya yang durhaka tak mengakui Emaknya. Dalam sekajap Ahmad, Istrinya, Pengawalnya dan seluruh harta bendanya termasuk Kapalnya berubah dan menyatu menjadi sebuah Bukit.

Sampai sekarang di desa tersebut masih terlihat sebuah Bukit berbentuk kapal yang dinamai “Glee Kapai” (Bukit Kapal).



CERITA RAKYAT ACEH – TARI GUEL BUDAYA GAYO



Tari guel adalah salah satu khasanah budaya Gayo di Aceh. Guel berarti membunyikan. Khususnya di daerah dataran tinggi gayo, tarian ini memiliki kisah panjang dan unik. Para peneliti dan koreografer tari mengatakan tarian ini bukan hanya sekedar tari. Dia merupakan gabungan dari seni sastra, seni musik dan seni tari itu sendiri.

Konon, tari Guel berasal daru dua orang putera Sultan Johor, Malaysia, bernama Muria dan adiknya yang bernama Segenda. Alkisah, pada suatu hari kedua kakak-beradik itu disuruh oleh orang tuanya menggembala itik di tepi laut. Sambil menggembala, untuk mengisi kebosanan, mereka bermain layang-layang. Suatu saat, datanglah angin kencang yang membuat layang-layang mereka putus. Sekuat tenaga mereka mengejar layang-layang ter­sebut. Mere­ka lupa bahwa pada saat itu me­reka sedang menggembala itik, hingga itiknya pun pergi entah ke mana.

Setelah gagal menemukan layang-layang mereka, barulah mereka teringat akan itik-itik mereka. Tetapi malang, itik-itik itu tak lagi nampak. Mereka pun pulang dengan ketakutan akan mendapat marah dari orangtua mereka.

Benar juga apa yang mereka pikir­kan. Setiba di rumah, mereka dimarahi ayah mereka. Mereka juga disuruh mencari itik-itik itu, dan tak diizinkan kembali sebelum itik-itik yang hilang itu ditemukan kembali.

Berhari-hari bahkan berbulan-bulan mereka berjalan mencari itik mereka, tapi tak membawa hasil hingga akhirnya mere­ka tiba di Kampung Serule. Dengan tubuh yang lunglai mereka menuju ke sebuah meunasah/langgar dan tertidur lelap. Pagi hari­­nya mereka ditemukan oleh orang kam­pung dan dibawa menghadap ke istana Raja Serule. Di luar dugaan, mereka malah di­angkat anak oleh baginda raja.

Beberapa waktu berlalu, rakyat Seru­le hidup makmur, aman, dan sentosa. Hal ini di­karenakan oleh kesaktian kedua anak tersebut. Kemakmuran rakyat Serule itu mem­­buat Raja Linge iri dan gusar, se­hing­ga meng­­ancam akan membunuh kedua anak ter­sebut. Malang bagi Muria, ia ber­hasil di­­bunuh dan di­makamkan di tepi Sungai Samarkilang, Aceh Tenggara.

Pada suatu saat, raja-raja kecil ber­kumpul di istana Sultan Aceh di Kutaraja. Raja-raja kecil itu mempersembahkan cap usur, semacam upeti kepada Sultan Aceh. Saat itu, Cik Serule datang bersama Sangede. Saat itu, Raja Linge juga hadir. Saat Raja Serule masuk ke istana, Sangede menung­gu di halaman istana.

Sambil menunggu ayah angkatnya, Sa­­ngede menggambar seekor gajah yang ber­warna putih. Rupanya lukisan Sangede ini menarik perhatian Putri Sultan yang ke­mu­di­an meminta Sultan mencarikan se­ekor ga­jah putih seperti yang digambar oleh Sangede.

Sangede kemudian menceritakan bah­wa gajah putih itu berada di daerah Gayo, pa­dahal dia sebenarnya belum per­nah me­­­­lihatnya. Maka, saat itu juga Sultan me­me­rintahkan Raja Serule dan Raja Linge untuk menangkap gajah putih tersebut gu­na dipersembahkan kepada Sultan. Raja Se­ru­le dan Raja Linge benar-benar kebi­ngu­ng­­an, bagaimana mungkin mencari se­suatu yang belum pernah dilihatnya.

Sangede menyesal karena bercerita bahwa gajah putih itu ada di Gayo hingga ayah angkatnya mendapat tugas mencari­nya. Dalam kebingungan itu, suatu malam Sangede bermimpi bertemu dengan Muria yang memberitahu bahwa gajah putih itu berada di Samarkilang, dan sebenarnya ga­jah putih itu adalah dirinya yang menjel­ma saat dibunuh oleh Raja Linge.

Pagi harinya, Sangede dan Raja Seru­le yang bergelar Muyang Kaya pergi ke Sa­mar­kilang seperti perintah dalam mimpi Sangede. Benar juga, setelah beberapa sa­­at mencari, mereka berdua menemukan ga­­jah putih itu sedang berkubang di ping­gir­­an sungai.

Sangede dan Raja Serule Muyang Kaya kemudian dengan hati-hati mengena­kan tali di tubuh gajah yang nampak pe­nurut itu. Tetapi saat akan dihela, gajah pu­tih itu lari sekuat tenaga. Raja Serule dan Sa­­ngede tak mampu menahannya. Mereka ha­nya bisa mengejarnya hingga suatu saat ga­j­ah itu berhenti di dekat kuburan Muria di Samarkilang.

Anehnya, gajah putih itu berhenti se­perti sebongkah batu. Tak bergerak sedikit pun meski Sangede dan Raja Serule men­coba menghelanya. Berbagai cara dicoba oleh Sangede agar gajah putih itu mau beranjak dan menuruti perintahnya untuk diajak pergi ke istana Kutaraja. Tetapi, se­mua­nya sia-sia.

Sangede kehabisan akal. Akhirnya, dia bernyanyi-nyanyi untuk menarik perhatian gajah putih. Sambil bernyanyi, Sangede meliuk-liukkan tubuhnya. Raja Serule ikut-ikutan menari bersama Sangede di depan gajah putih agar mau bangkit dan menuruti perintahnya. Di luar dugaan, gajah putih itu ter­tarik juga oleh gerakan-gerakan Sa­nge­­de, dan kemudian bangkit. Sangede te­rus menari sambil berjalan agar gajah itu meng­ikuti langkahnya. Akhirnya, gajah itu pun meng­ikuti Sangede yang terus menari hingga ke istana. Tarian itu disebutnya tari­an Guel hingga sekarang.

Sangede menyadari bahwa sesuatu ajakan kepada seseorang atau kepada binatang tidaklah harus dengan cara yang kasar. Dengan sebuah tarian pun akhirnya gajah putih itu menuruti ajakannya.

Gerakan-gerakan tubuh yang dilakukan oleh Raja Cik Serule dan Segenda itu akhirnya menjadi vikal bakal tari ugel yang menjadi tari tradisional khas rakyat Gayo.



CERITA RAKYAT ACEH – BANTA SEUDANG

Banta Seudang

Pada zaman dahulu, tersebutlah se­orang raja yang memimpin wi­­la­yah Aceh. Sang Raja memimpin negeri dengan adil dan bijaksana. Ia di­dampingi oleh permaisuri yang cantik je­lita dan berhati mulia. Sang Raja dan Per­maisuri hidup berbahagia. Apalagi Per­maisuri sedang mengandung anak per­­tama mereka. Setelah sembilan bul­an, sang Permaisuri melahirkan seorang bayi laki-laki yang tampan. Betapa ba­­hagia­­nya sang Raja. Calon penggantinya kelak telah lahir. Bayi tersebut kemudian dinamakan Banta Seudang.

Namun, malang nasib bagi sang Raja, karena ia tidak bisa melihat wajah tampan putranya. Kedua matanya buta terkena ranting kayu saat berburu di hutan. Sejak saat itu, ia tidak dapat melaksanakan tugas-tugas kerajaan lagi. Oleh karena Banta Seudang masih bayi, maka tahta kerajaan ia serahkan untuk sementara kepada adik kandungnya. Namun, sang Adik yang baru diangkat menjadi raja itu sangat licik dan serakah. Ia se­­­­nga­ja mengasingkan ke­luarga Raja agar ia dapat selamanya berkuasa.

Setiap hari, adik Raja mengirimkan satu tabung bambu beras bersama ikan dan sayuran sebagai jatah makan untuk ke­luarga itu. Kehidupan Raja dan ke­luarganya yang dulu ber­­kecukup­an berubah menjadi ke­kurangan. Mereka harus bergantung kepada pemberian adik Raja. Kadang-kadang, adik Raja tak me­ngirimkan jatah sama sekali sehingga ke­luarga Raja kelaparan. Namun demikian, sang Raja dan Permaisuri tetap bersabar. Mereka yakin, siapa yang berbuat jahat, sua­tu saat akan menerima hukumannya.

Waktu terus berlalu. Waktu terus berjalan. Banta Seudang tumbuh menjadi remaja yang tampan. Ia pun mulai bertanya-tanya kepada ibunya tentang siapa yang memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari, padahal ayahnya buta.

“Maaf, Ibu! Bolehkah aku bertanya sesuatu kepada Ibu,” kata Banta.

“Ada apa, Anakku? Katakanlah!” seru sang Ibu.

“Dari mana kita mendapat makanan setiap hari, padahal Ayah tidak pernah bekerja?” tanya Banta ingin tahu.

“Ketahuilah, Anakku! Kebutuhan hidup sehari-hari kita dibantu oleh Pakcikmu yang kini menjadi Raja,” jawab ibunya.

“Pakcik baik hati sekali ya Bu,” kata Banta.

“Iya, Anakku!” jawab sang Ibu sambil tersenyum seraya membelai-belai rambut si Banta.

Pada suatu hari, sang Ibu bersama Banta Seudang pergi menghadap sang Raja. Di hadapan Raja, sang Ibu memohon kepada Raja untuk membantu Banta Seudang agar bisa bersekolah. Namun, permohonan sang Ibu ditolak oleh sang Raja. “Dasar kalian tidak tahu diri! Dikasih sedepa minta sejengkal pula. Bukankah semua kebutuhan hidup sehari-hari kalian telah aku penuhi!” bentak sang Raja.

Alangkah sedihnya hati sang Ibu mendengar bentakan itu. Ia pun mengajak Banta kembali ke rumah. Sesampainya di rumah, Banta Seudang berusaha menenangkan hati ibunya.

“Sudahlah, Bu! Ibu tidak usah bersedih begitu. Kita seharusnya bersyukur karena Pakcik sudah banyak membantu kita,” bujuk si Banta.

“Banta! Kamu memang Anakku yang baik. Tapi, kamu harus sekolah seperti teman-teman sebayamu,” kata sang Ibu.

Mendengar perkataan itu, si Banta tiba-tiba berpikir bahwa apa yang dikatakan ibunya itu benar. Maka timbullah pikirannya untuk mencari obat mata untuk ayahnya. Jika kelak ayahnya bisa melihat lagi, tentu sang Ayah bisa mencari nafkah sendiri dan dapat membantu biaya sekolahnya.

Pada suatu hari, Banta Seudang menyampaikan niatnya kepada ibunya.

“Bu, Banta ingin pergi mencari obat mata untuk Ayah agar dapat kembali bekerja seperti biasanya dan Banta pun bisa sekolah,” ungkap Banta Seudang.

Singkat cerita, Banta Seudang sampai di se­­buah hutan. Ia shalat dan men­­­­jadi makmum seorang Wali. Selesai shalat, Banta Seudang bercerita kepada wali, bahwa ia ingin mencari obat bagi ayahnya yang buta. Wali itu menyarankan untuk mengambil bunga bangkawali yang terdapat di sebuah kolam sebagai obat bagi ayah Banta.

Maka berjalanlah Banta menuju hutan yang dimaksud oleh wali itu. Rupanya di tengah hutan itu terdapat sebuah taman yang indah dengan sebuah kolam berair jernih dan sebuah gubuk sederhana. Di dalam gubuk itu tinggal Mak Toyo, pen­jaga taman itu. Sebenarnya, taman itu milik seorang raja yang tinggal amat jauh dari hutan itu. Sang Raja memiliki tu­­juh putri yang semuanya berparas cantik. Konon, setiap putri itu memiliki baju ajaib. Bila baju itu dikenakan maka orang yang me­­ma­kainya dapat terbang seperti burung.

Banta kemudian tinggal bersama Mak Toyo. Setiap hari ia merawat ta­man itu. Suatu Jumat, tujuh putri Raja mandi di kolam. Banta amat terpesona de­ngan ke­­cantikan mereka. Saat mereka ber­isti­ra­hat, Mak Toyo turun ke kolam, kemu­dian me­nepuk air tiga kali. Tiba-tiba muncul bu­nga bangkawali.

“Mak, bolehkah bunga bangkawali itu kuminta untuk obat ayahku?” pinta Banta.

Mak Toyo memberikannya. Betapa se­­­nang hati Banta. Ia ingin segera pulang. Na­mun sebelumnya, ia ingin menikahi salah satu putri Raja. Maka Banta menunda ke­pulangannya.

Hari Jumat berikutnya, ketujuh putri Raja itu kembali mandi di kolam. Saat me­reka mandi itulah, diam-diam Banta men­curi salah satu baju terbang mereka yang tergeletak di atas batu. Saat ketujuh putri itu ingin pulang, mereka ke­bingungan ka­­rena baju terbang si Bungsu hilang sehing­ga tak bisa pulang. Terpaksa si Bung­su ting­gal bersama Mak Toyo.

Setelah beberapa lama tinggal di ru­mah Mak Toyo, si Bungsu jatuh cinta pada Banta yang baik hati itu. Demikian pula Banta. Keduanya kemudian menikah. Be­be­rapa hari setelah pernikahan, Banta meng­­­­­ajak si Bungsu dan Mak Toyo me­ne­mui orangtuanya. Tak lupa, bunga bang­kawali ia bawa serta.

Kedatangan Banta disambut gem­bi­r­a oleh Raja dan Permaisuri. Banta segera meng­­­­ambil semangkuk air. Bunga bangka­wa­li ia rendam di dalamnya, kemudian air­­­­nya dikompreskan ke wajah sang Ayah. Tak lama kemudian, ayahnya dapat melihat kembali.

Keesokan harinya, ayah Banta datang ke istana menemui adiknya. Melihat ke­­datangan kakaknya yang tidak buta lagi, sang Adik amat gugup. Ia juga merasa ber­salah karena telah menelantarkan kakak beserta keluarganya itu.

“Maafkan saya, Bang. Selama ini sa­ya telah menelantarkan keluarga Abang. Sekarang saya serahkan kembali tahta Abang,” kata sang Adik.

Ayah Banta pun kembali menjadi raja. Banta hidup berbahagia bersama ayah ibu beserta istrinya dan Mak Toyo. Bebera­pa waktu kemudian Banta dilantik menjadi raja menggantikan ayahnya. Ia memimpin negeri dengan adil dan bijaksana.



tentang dzia untaian cinta