"WELCOME TO MY BLOG * DZIA UNTAIAN CINTA *"

Jumat, 25 Maret 2016

MAKALAH ILMU TASAWUF

BAB I

PEMBAHASAN


A. Pengetian Tasawuf


Arti tasawuf dan asal katanya menurut logat sebagaimana tersebut dalam bukuMempertajam Mata Hati (dalam melihat Allah). Menurut Syekh Ahmad ibn Athaillah yang diterjemahkan oleh Abu Jihaduddin Rafqi al-Hānif : 
Berasal dari kata suffah (صفة)= segolongan sahabat-sahabat Nabi yang menyisihkan dirinya di serambi masjid Nabawi, karena di serambi itu para sahabat selalu duduk bersama-sama Rasulullah untuk mendengarkan fatwa-fatwa beliau untuk disampaikan kepada orang lain yang belum menerima fatwa itu. 
Berasal dari kata sūfatun (صوفة)= bulu binatang, sebab orang yang memasuki tasawuf itu memakai baju dari bulu binatang dan tidak senang memakai pakaian yang indah-indah sebagaimana yang dipakai oleh kebanyakan orang. 
Berasal dari kata sūuf al sufa’ (صوفة الصفا)= bulu yang terlembut, dengan dimaksud bahwa orang sufi itu bersifat lembut-lembut. 
Berasal dari kata safa’ (صفا)= suci bersih, lawan kotor. Karena orang-orang yang mengamalkan tasawuf itu, selalu suci bersih lahir dan bathin dan selalu meninggalkan perbuatan-perbuatan yang kotor yang dapat menyebabkan kemurkaan Allah. 

Pendapat tersebut di atas menjadi khilaf (perbedaan pendapat) para ulama, bahkan ada pendapat tidak menerima arti tasawuf dari makna logat atau asal kata. Menurut al-Syekh Abd. Wahid Yahya berkata: Banyak perbedaan pendapat mengenai kata”sufi” dan telah ditetapkan ketentuan yang bermacam-macam, tanpa ada satu pendapat yang lebih utama dari pendapat lainnya kerena semua itu bisa diterima.

Pada hakekatnya, itu merupakan penamaan simbolis. Jika diinginkan keterangan selanjutnya, maka haruslah kembali pada jumlah bilangan pada huruf-hurufnya adalah sesuatu yang menakjubkan jika diperhatikan bahwa jumlah dari huruf sufi sama dengan jumlah“al-Hakim al-Ilahi”, maka seorang sufi yang hakiki ialah orang yang sudah mencapai hikmah Ilahi yaitu orang arif dengan Allah, karena pada hakekatnya bahwa Allah tidak dapat dikenal melainkan dengan-Nya (dengan pertolongan-Nya). 

Dengan pendapat para ahli tasawuf tentang arti tasawuf menurut bahasa tersebut di atas, dapatlah diambil kesimpulan bahwa nama-nama dan istilah menurut bahasa adalah arti simbolik yang bermakna kebersihan dan kesucian untuk senantisa berhubungan dengan Allah. Untuk mencapai tingkat ma’rifat untuk menjadi manusia yang berkualitas lagi kamil.

Dari sekian banyak defenisi yang ditampilkan oleh para ahli tentang tasawuf, sangat sulit mendefenisikannya secara lengkap karena masing-masing ahli mendefenisikan tasawuf hanya dapat menyentuh salah satu sudutnya saja, sebagaimana dikemukakan oleh Anne Marie Schimmel, seorang sejarahwan dan dosentasawuf pada Harvard University sebagai contoh apa yang telah didefenisikan oleh Syekh al-Imam al-Qusyairi dalam kitabnya Risālah al-Qusyairiyyah

المراعون انفاسهم مع الله تعالي الحافظون قلوبهم عن طوارق الغفلة باسم التصوف

‘Orang-orang yang senantiasa mengawasi nafasnya bersamaan dengan Allah Ta’ala. Orang-orang yang senantiasa memelihara hati atau qalbunya dari berbuat lalai dan lupa kepada Allah dengan cara tersebut di atas dinamakan tasawuf.

Menurut Abu Muhammad al-Jariri yang disebutkan dalam kitab al-Risalah al-kusyairibeliau ditanya tentang tasawuf, maka ia menjawa :

الدخول في كل خلق سني والخروج من كل خلق دني

‘Masuk dalam setiap moral yang luhur dan keluar dari setiap moral yang rendah.

Menurut Abd al-Husain al-Nur memberikan batasan dalam defenisi yang lain yaitu akhlak yang membentuk tasawuf :

التصوف الحرية والكرم وترك التكلف والسخاء

‘Tasawuf adalah kemerdekaan, kemurahan tidak membebani diri serta dermawan. 

Dengan beberapa pengertian tasawuf tersebut di atas menunjukkan bahwa hubungan Allah dengan manusia yang tak terpisah, sampai merasuk dalam qalbusehingga manusia yang ber-tasawuf itu selalu berada dalam daerah Ilahi yang qadim,karena manusia dalam pengertian qalbu dan ruh, dapat dihubungkan dengan Allah seperti firman Allah dalam hadis Qudsi :

قوله تعالي في الحديث القدسي ما وسعني ارضي ولا سماءي ووسعني قلب عبد المؤمن

‘Allah berfirman dalam hadis Qudsi, sekiranya Aku, diletakkan di bumi dan langit-Ku tidak mampu memuat Aku dan qalbu-nya orang mukmin dapat memuat Aku. 

Bahwa hadis Qudsi tersebut menggambarkan tentang bumi dan langit tidak dapat secara langsung dekat Allah swt. Bahkan andaikata Allah swt. Akan ditempatkan dan diletakkan dalam bumi dan langit itu tidak akan sanggup membawa dan memuatnya, akan tetapi sekiranya Allah swt. Akan ditempatkan dan diletakkan dalam qalbu-nya orang mukmin, niscaya akan sanngup dan mampu memuatnya karena manusia itu lebih tinggi martabatnya, dibandingkan dengan makhluk lainnya, setelah itu pula manusia mempunyai nur (cahaya dari Allah) dengan demikian mudah berhubungan, nur dengannur. 





BAB II

PEMBAHASAN


A. SEJARAH TASAWUF


Banyak pendapat yang pro dan kontra mengenai asal-usul ajaran tasawuf, apakah ia berasal dari luar atau dari dalam agama Islam sendiri. Berbagai sumber mengatakan bahwa ilmu tasauf sangat lah membingungkan.

Sebagian pendapat mengatakan bahwa paham tasawuf merupakan paham yang sudah berkembang sebelum Nabi Muhammad menjadi Rasulullah. Dan orang-orang Islam baru di daerah Irak dan Iran (sekitar abad 8 Masehi) yang sebelumnya merupakan orang-orang yang memeluk agama non Islam atau menganut paham-paham tertentu. Meski sudah masuk Islam, hidupnya tetap memelihara kesahajaan dan menjauhkan diri dari kemewahan dan kesenangan keduniaan. Hal ini didorong oleh kesungguhannya untuk mengamalkan ajarannya, yaitu dalam hidupannya sangat berendah-rendah diri dan berhina-hina diri terhadap Tuhan. Mereka selalu mengenakan pakaian yang pada waktu itu termasuk pakaian yang sangat sederhana, yaitu pakaian dari kulit domba yang masih berbulu, sampai akhirnya dikenal sebagai semacam tanda bagi penganut-penganut paham tersebut. Itulah sebabnya maka pahamnya kemudian disebut paham sufi, sufisme atau paham tasawuf. Sementara itu, orang yang penganut paham tersebut disebut orang sufi.

Sebagian pendapat lagi mengatakan bahwa asal-usul ajaran tasawuf berasal dari zaman Nabi Muhammad SAW. Berasal dari kata "beranda" (suffa), dan pelakunya disebut dengan ahl al-suffa, seperti telah disebutkan diatas. Mereka dianggap sebagai penanam benih paham tasawuf yang berasal dari pengetahuan Nabi Muhammad.

Pendapat lain menyebutkan tasawuf muncul ketika pertikaian antar umat Islam di zaman Khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, khususnya karena faktorpolitik.Pertikaian antar umat Islam karena karena faktor politik dan perebutan kekuasaan ini terus berlangsung dimasa khalifah-khalifah sesudah Utsman dan Ali. Munculah masyarakat yang bereaksi terhadap hal ini. Mereka menganggap bahwa politik dan kekuasaan merupakan wilayah yang kotor dan busuk. Mereka melakukan gerakan ‘uzlah , yaitu menarik diri dari hingar-bingar masalah duniawi yang seringkali menipu dan menjerumuskan. Lalu munculah gerakan tasawuf yang di pelopori olehHasan Al-Bashri pada abad kedua Hijriyah. Kemudian diikuti oleh figur-figaur lain seperti Shafyan al-Tsauri dan Rabi’ah al-‘Adawiyah

Pada dasarnya sejarah awal perkembangan tasawuf, adalah sudah ada sejak zaman kehidupan Nabi saw. Hal ini dapat dilihat bagaimana peristiwa dan prilaku kehidupan Nabi saw. sebelum diangkat menjadi rasul. Beliau berhari-hari pernah berkhalwat di Gua Hira’, terutama pada bulan ramadlan. Disana Nabi saw lebih banyakberdzikir dan bertafakkur dalam rangka untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Pengasingan diri Nabi saw. di Gua Hira’ inilah yang merupakan acuan utama para sufi dalam melakukan khalwat. Dalam aspek lain dari sisi prikehidupan Nabi saw. adalah diyakini merupakan benih-benih timbulnya tasawuf, dimana dalam kehidupan sehari-hari Nabi saw. sangatlah sederhana, zuhud dan tak pernah terpesona oleh kemewahan duniawi. Hal itu di kuatkan oleh salah satu do’a Nabi saw, beliau pernah bermohon yang artinya: “Wahai Allah, hidupkanlah aku dalam kemiskinan dan matikanlah aku selaku orang miskin”. (HR. al-Tirmizi, Ibn Majah, dan al-Hakim).

Sejarah perkembangan tasawuf berikutnya (periode kedua setelah periode Nabi saw.) ialah periode tasawuf pada masa “Khulafaurrasyidin” yakni masa kehidupan empat sahabat besar setelah Nabi saw. yaitu pada masa Abu Bakar al-Siddiq, Umar ibn al-Khattab, Usman ibn Affan, dan masa Ali ibn Abi Thalib. Kehidupan parakhulafaurrasyidin tersebut selalu dijadikan acuan oleh para sufi, karena para sahabat diyakini sebagai murid langsung Nabi saw. dalam segala perbuatan dan ucapan mereka jelas senantiasa mengikuti tata cara kehidupan Nabi saw. terutama yang bertalian dengan keteguhan imannya, ketaqwaannya, kezuhudan, budi pekerti luhur dan yang lainnya.Salah satu contoh sahabat yang dianggap mempunyai kemiripan hidup seperti Nabi saw. adalah sahabat Umar Ibn al-Khattab, beliau terkenal dengan keheningan jiwa dan kebersihan kalbunya, ia terkenal kezuhudan dan kesederhanaannya. Diriwayatkan pernah suatu ketika setelah ia menjabat sebagai khalifah (Amirul Mukminin), ia berpidato dengan memakai baju bertambal dua belas sobekan.

Selain mengacu pada kehidupan keempat khalifah di atas, para ahli sufi juga merujuk pada kehidupan para “Ahlus Suffah” yaitu para sahabat Nabi saw. yang tinggal di masjid nabawi di Madinah dalam keadaan serba miskin namun senantiasa teguh dalam memegang akidah dan selalu mendekatkan diri kepada Allah Swt. Diantara paraAhlus Suffah itu ialah,sahabat Abu Hurairah, Abu Zar al-Ghiffari, Salman al-Farisi, Muadz bin Jabal, Imran bin Husain, Abu Ubaidah bin Jarrah, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas dan Huzaifah bin Yaman dan lain-lain.

Perkembangan tasawuf selanjutnya adalah masuk pada periode generasi setelah sahabat yakni pada masa kehidupan para “Tabi’in (sekitar abad ke-1 dan abad ke-2 Hijriyah), pada periode ini munculah kelompok(gerakan) tasawuf yang memisahkan diri terhadap konflik-konflik politik yang di lancarkan oleh dinasti bani Umayyah yang sedang berkuasa guna menumpas lawan-lawan politiknya. Gerakan tasawuf tersebut diberi nama “Tawwabun” (kaum Tawwabin), yaitu mereka yang membersihkan diri dari apa yang pernah mereka lakukan dan yang telah mereka dukung atas kasus terbunuhnya Imam Husain bin Ali di Karbala oleh pasukan Muawiyyah, dan mereka bertaubat dengan cara mengisi kehidupan sepenuhnya dengan beribadah. Gerakan kaum Tawwabin ini dipimpin oleh Mukhtar bin Ubaid as-Saqafi yang ahir kehidupannya terbunuh di Kuffah pada tahun 68 H

Sejarah perkembangan tasawuf berikutnya adalah memasuki abad ke-3 dan abad ke-4 Hijriyah. Pada masa ini terdapat dua kecenderungan para tokoh tasawuf. Pertama, cenderung pada kajian tasawuf yang bersifat akhlak yang di dasarkan pada al-Qur’an dan al-Sunnah yang biasa di sebut dengan “Tasawuf Sunni” dengan tokoh-tokoh terkenalnya seperti : Haris al-Muhasibi (Basrah), Imam al-Ghazali, Sirri as-Saqafi, Abu Ali ar-Ruzbani dan lain-lain.Kelompok kedua, adalah yang cenderung pada kajiantasawuf filsafat, dikatakan demikian karena tasawuf telah berbaur dengan kajian filsafat metafisika. Adapun tokoh-tokoh tasawuf filsafat yang terkenal pada saat itu diantaranya: Abu Yazid al-Bustami (W.260 H.) dengan konsep tasawuf filsafatnya yang terkenal yakni tentang “Fana dan Baqa” (peleburan diri untuk mencapai keabadian dalam diri Ilahi), serta “Ittihad” (Bersatunya hamba dengan Tuhan). Adapun puncak perkembangan tasawuf filsafat pada abad ke-3 dan abad ke-4, adalah pada masa Husain bin Mansur al-Hallaj (244-309 H ), ia merupakan tokoh yang dianggap paling kontroversial dalam sejarah tasawuf, sehingga ahirnya harus menemui ajalnya di taing gantungan.

Periode sejarah perkembangan tasawuf pada abad ke-5 Hijriyah terutama tasawuf filsafat telah mengalami kemunduran luar biasa, hal itu akibat meninggalnya al-Hallaj sebagai tokoh utamanya. Dan pada periode ini perkembangan sejarah tasawuf sunni mengalami kejayaan pesat, hal itu ditandai dengan munculnya tokoh-tokoh tasawuf sunni seperti, Abu Ismail Abdullah bin Muhammad al-Ansari al-Harawi (396-481 H.), seorang penentang tasawuf filsafat yang paling keras yang telah disebarluaskan oleh al-Bustani dan al-Hallaj. Dan puncak kecemerlangan tasawuf suni ini adalah pada masa al-Ghazali, yang karena keluasan ilmu dan kedudukannya yang tinggi, hingga ia mendapatkan suatu gelar kehormatan sebagai “Hujjatul Islam”.

Sejarah perkembangan tasawuf selanjutnya adalah memasuki periode abad ke-7, dimana tasawuf filsafat mengalami kemajuan kembali yang dimunculkan oleh tokoh terkenal yakni Ibnu Arabi. Ibnu Arabi telah berhasil menemukan teori baru dalam bidang tasawuf filsafat yakni tenyang “Wahdatul Wujud”, yang banyak diikuti oleh tokoh-tokoh lainnya seperti Ibnu Sab’in, Jalaluddin ar-Rumi dan sebagainya. Kecuali itu pada abad ke-6 dan abad ke-7 ini pula muncul beberapa aliran tasawuf amali, yang ditandai lahirnya beberapa tokoh tarikat besar seperti: Tarikat Qadiriyah oleh Syaikh Abdul Qadir al-Jailani di Bagdad (470-561 H.), Tarikat Rifa’iyah yang didirikan oleh Ahmad bin Ali Abul Abbas ar-Rifa’I di Irak (W.578 H.) dan sebagainya. Dan sesudah abad ke-7 inilah tidak ada lagi tokoh-tokoh besar yang membawa ide tersendiri dalam hal pengetahuan tasawuf, kalau toh ada hal itu hanyalah sebagai seorang pengembang ide para tokoh pendahulunya. 



B. Asal Usul Tasawuf

Dari beberapa keterangan, diketahui bahwa sesungguhnya pengenalan tasawufsudah ada dalam kehidupan Nabi saw., sahabat, dan tabi’in. Sebutan yang populer bagi tokoh agama sebelumnya adalah zāhid, ābid, dan nāsik, namun term tasawuf baru dikenal secara luas di kawasan Islam sejak penghujung abad kedua Hijriah. Sebagai perkembangan lanjut dari ke-shaleh-an asketis (kesederhanaan) atau para zāhid yang mengelompok di serambi masjid Madinah. Dalam perjalanan kehidupan, kelompok ini lebih mengkhususkan diri untuk beribadah dan pengembangan kehidupan rohaniah dengan mengabaikan kenikmatan duniawi. Pola hidup ke-shaleh-an yang demikian merupakan awal pertumbuhan tasawuf yang kemudian berkembang dengan pesatnya. Fase ini dapat disebut sebagai fase asketisme dan merupakan fase pertama perkembangan tasawuf, yang ditandai dengan munculnya individu-individu yang lebih mengejar kehidupan akhirat sehingga perhatiannya terpusat untuk beribadah dan mengabaikan keasyikan duniawi. Fase asketisme ini setidaknya sampai pada dua Hijriah dan memasuki abad tiga Hijriah sudah terlihat adanya peralihan konkrit dari asketismeIslam ke sufisme. Fase ini dapat disebut sebagai fase kedua, yang ditandai oleh antara lain peralihan sebutan zāhid menjadi sufi. Di sisi lain, pada kurun waktu ini, percakapan para zāhid sudah sampai pada persoalan apa itu jiwa yang bersih, apa itu moral dan bagaimana metode pembinaannya dan perbincangan tentang masalah teoritis lainnya.

Tindak lanjut dari perbincangan ini, maka bermunculanlah berbagai teori tentang jenjang-jenjang yang harus ditempun oleh seorang Sufi (al-maqāmat) serta ciri-ciri yang dimiliki oleh seorang sufi pada tingkat tertentu (al-hāl). Demikian juga pada periode ini sudah mulai berkembang pembahasan tentang al-ma’rifat serta perangkat metodenya sampai pada tingkat fana’ dan ijtihad. Bersamaan dengan itu, tampil pula para penulistasawuf, seperti al-Muhāsibi (w. 243 H), al-Kharraj (w. 277 H.), dan al-Junaid (w. 297 H.), dan penulis lainya. Fase ini ditandai dengan munculnya dan berkembangnya ilmu baru dalam khazanah budaya Islam, yakni ilmu tasawuf yang tadinya hanya berupa pengetahuan praktis atau semacam langgam keberagamaan. Selama kurun waktu itutasawuf berkembang terus ke arah yang lebih spesifik, seperti konsep intuisi, al-kasyf,dan dzawq. 

Kepesatan perkembangan tasawuf sebagai salah satu kultur ke-Islaman, nampaknya memperoleh infus atau motivasi dari tiga faktor. Infus ini kemudian memberikan gambaran tentang tipe gerakan yang muncul.

Pertama: adalah karena corak kehidupan yang profan dan hidup kepelesiran yang diperagakan oleh ummat Islam terutama para pembesar dan para hartawan. Dari aspek ini, dorongan yang paling besar adalah sebagai reaksi dari sikap hidup yang sekuler dan gelamour dari kelompok elit dinasti penguasa di istana. Profes tersamar ini mereka lakukan dengan gaya murni etis, pendalaman kehidupan spiritual dengan motivasi etikal. Tokoh populer yang dapat mewakili aliran ini dapat ditunjuk Hasan al-Bahsri (w. 110 H) yang mempunyai pengaruh kuat dalam kesejarahan spiritual Islam, melalui doktrin al-zuhd dan khawf – al-raja’, rabi’ah al-Adawiyah (w. 185 H) dengan ajaran al-hubb ataumahabbah serta Ma’ruf al-Kharki (w. 200 H) dengan konsepsi al-syawq sebagai ajarannya. Nampaknya setidaknya pada awal munculnya, gerakan ini semacam gerakan sektarian yang interoversionis, pemisahan dari trend kehidupan, eksklusif dan tegas pendirian dalam upaya penyucian diri tanpa memperdulikan alam sekitar.

Kedua: timbulnya sikap apatis sebagai reaksi maksimal kepada radikalisme kaumkhawarij dan polarisasi politik yang ditimbulkannya. Kekerasan pergulakan politik pada masa itu, orang-orang yang ingin mempertahankan ke-shaleh-an dan ketenangan rohaniah, terpaksa mengambil sikap menjauhi kehidupan masyarakat ramai untuk menyepi dan sekaligus menghindarkan diri dari keterlibatan langsung dalam pertentangan politik. Sikap yang demikian itu melahirkan ajaran ‘uzlah yang dipelopori oleh Surri al-Saqathi (w. 253 H). Apabila diukur dari kriteria sosiologi, nampaknya kelompok ini dapat dikategorikan sebagai gerakan “sempalan”, satu kelompok ummat yang sengaja mengambil sikap ‘uzlah kolektif yang cenderung ekslusif dan kritis tehadap penguasa.

Dalam pandangan ini, kecenderungan memilih kehidupan rohaniah mistis, sepertinya merupakan pelarian, atau mencari konpensasi untuk menang dalam medan perjuangan duniawi. Ketika di dunia yang penuh tipu daya ini sudah kering dari siraman cinta sesama, mereka bangun dunia baru, realitas baru yang terbebas dari kekejaman dan keserakahan, dunia spiritual yang penuh dengan salju cinta.

Faktor ketiga, tampaknya adalah karena corak kodifikasi hukum Islam dan perumusan ilmu kalam yang rasional sehingga kurang bermotivasi etikal yang menyebabkan kehingan moralitasnya, menjadi semacam wahana tiada isi atau semacam bentuk tanpa jiwa. Formalitas faham keagamaan dirasakan semakin kering dan menyesakkan rūh al-dīn yang menyebabkan terputusnya komunikasi langsung suasana keakraban personal antara hamba dan penciptanya. Kondisi hukum dan teologis yang kering tanpa jiwa itu, karena dominannya posisi agama dalam agama, para zuhūdan tergugah untuk mencurahkan perhatian terhadap moralitas, sehingga memacu penggeseran seketismeke-shaleh-an kepada tasawuf. 

Apabila dilihat dari sisi tasawuf sebagai ilmu, maka fase ini merupakan fase ketiga yang ditandai dengan dimulainya unsur-unsur di luar Islam berakulturasi dengantasawuf. Ciri lain yang penting pada fase ini adalah timbulnya ketegangan antara kaumorthodoks dengan kelompok sufi berfaham ittihad di pihak lain.

Akibat lanjut dari pembenturan pemikiran itu, maka sekitar akhir abad ketiga Hijriah tampil al-Karraj (w. 277 H) bersama al-Junaid (w. 297 H) menawarkan konsep-konsep tasawuf yang kompromistis antara sufisme dan orthodoksi. Tujuan gerakan ini adalah untuk menjembatani atau bila dapat untuk mengintegrasikan antara kesadaran mistik dengan syariat Islam. Jasa mereka yang paling bernilai adalah lahirnya doktrin al-baqa’atau subsistensi sebagai imbangan dan legalitas al-fana’.hasil keseluruhan dari usaha pemaduan itu, doktrin sufi membuahkan sejumlah besar pasangan-pasangan kategori dengan tujuan memadukan kesadaran mistik dengan syari’ah sebagai suatu lembaga. Upaya tajdid itu mendapat sambutan luas dengan tampilnya penulis-penulis tasawuftipologi ini, seperti al-Sarraj dengan al-Luma,al-Kalabasi dengan al-Ta’arruf li Mazhāhib Ahl al-Tasawuf dan al-Qusyairi dengan al-Risālah. 

Sesudah masanya ketiga sufi ini, muncul jenis tasawuf yang berbeda, yaitutasawuf yang merupakan perpaduan antara sufisme dan filsafat sebagai hasil pikir Ibnu Masarrah (w. 381 H) dengan konsepsinya ma’rifat sejati, sebagai gabungan dari sufismedan teori emanasi Neo- Platonisme. Gagasan ini, sesudah masa al-Gazali dikembangkan oleh Suhrawardi al-Maqtūl (w. 578 H) dengan doktrin al-Isyrākiyah atauilluminasi.

Gerakan orthodoksi sufisme mencapai puncaknya pada abad lima Hijriah memalui tokoh monumental al-Gazali (w. 503 H). Dengan upayanya mengikis semua ajaran tasawuf yang menurutnya tidak Islami. Sufisme hasil rekayasanya itu yang sudah merupakan corak baru, mendapat tempat yang terhormat dalam kesejahteraan pemikiran ummat Islam. Cara yang ditempuhnya untuk menyelesaikan pertikaian itu, adalah dengan penegasan bahwa ucapan ekstatik berasal dari orang arif yang sedang dalam kondisi sakr atau terkesima. Sebab dalam kenyataanya, kata al-Gazali, setelah mereka sadar mereka mengakui pula, bahwa kesatuan dengan Tuhan itu bukanlah kesatuan hakiki, tetapi kesatuan simbolistik. 

Pendekatan yang dilakukan oleh al-Gazali, nampaknya bagi satu pihak memberikan jaminan untuk mempetahankan prinsip bahwa Allah dan alam ciptaan-Nya adalah dua hal yang berbeda, sehingga satu sama lain tidak mungkin bersatu. Di pihak lain memberikan kelonggaran pula bagi para sufi untuk memasuki pengalaman-pengalaman ke-sufi-an puncak itu tanpa kekhawatiran dituduh kafir. Gambaran ini menunjukkan tasawuf sebagai ilmu telah sampai ke fase kematangannya atau memasuki fase keempat, yang ditandai dengan timbulnya dua aliran tasawuf, yaitutasawuf sunni dan tasawuf filsafati.



C. Pokok-pokok Ajaran Tasawuf

Pembagian Tasawuf yang ditinjau dari lingkup materi pembahasannya menjadi tiga macam, yaitu:

a. Tasawuf Aqidah

yaitu ruang lingkup pembicaraan Tasawuf yang menekankan masalah-masalah metafisis (hal-hal yang ghaib), yang unsur-unsurnya adalah keimanan terhadap Tuhan, adanya Malaikat, Syurga, Neraka dan sebagainya. Karena setiap Sufi menekankan kehidupan yang bahagia di akhirat, maka mereka memperbanyak ibadahnya untuk mencapai kebahagiaan Syurga, dan tidak akan mendapatkan siksaan neraka. Untuk mencapai kebahagiaan tersebut, maka Tasawuf Aqidah berusaha melukiskan Ketunggalan Hakikat Allah, yang merupakan satu-satunya yang ada dalam pengertian yang mutlak. Kemudian melukiskan alamat Allah SWT, dengan menunjukkan sifat-sifat ketuhanan-Nya. Dan salah satu indikasi Tasawuf Aqidah, ialah pembicaraannya terhadap sifat-sifat Allah, yang disebut dengan “Al-Asman al-Husna”, yang oleh Ulama Tarekat dibuatkan zikir tertentu, untuk mencapai alamat itu, karena beranggapan bahwa seorang hamba (Al-‘Abid) bisa mencapai hakikat Tuhan lewat alamat-Nya (sifat-sifat-Nya).

b. Tasawuf Ibadah

yaitu Tasawuf yang menekankan pembicaraannya dalam masalah rahasia ibadah (Asraru al-‘Ibadah), sehingga di dalamnya terdapat pembahasaan mengenai rahasia Taharah (Asraru Taharah), rahasia Salat (Asraru al-Salah), rahasia Zakat (Asraru al-Zakah), rahasia Puasa (Asrarus al-Shaum), rahasia Hajji (Asraru al-Hajj) dan sebagainya. Di samping itu juga, hamba yang melakukan ibadah, dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu:

1) Tingkatan orang-orang biasa (Al-‘Awam), sebagai tingkatan pertama.

2) Tingkatan orang-orang istimewa (Al-Khawas), sebagai tingkatan kedua.

3) Tingkatan orang-orang yang teristimewa atau yang luar biasa (Khawas al-Khawas), sebagai tingkatan ketiga.

Kalau tingkatan pertama dimaksudkan sebagai orang-orang biasa pada umumnya, maka tingkatan kedua dimaksudkan sebagai para wali (Al-Auliya’), sedangkan tingkatan ketiga dimaksudkan sebagai para Nabi (Al-Anbiya’).

Dalam Fiqh, diterangkan adanya beberapa syarat dan rukun untuk menentukan sah atau tidaknya suatu ibadah. Tentu saja persyaratan itu hanya sifatnya lahiriah saja, tetapi Tasawuf membicarakan persyaratan sah atau tidaknya suatu ibadah, sangat ditentukan oleh persyaratan yang bersifat rahasia (batiniyah). Sehingga Ulama Tasawuf sering mengemukakan tingkatan ibadah menjadi beberapa macam, misalnya Taharah dibaginya menjadi empat tingkatan:

1) Taharah yang sifatnya mensucikan anggota badan yang nyata dari hadath dan najis.

2) Taharah yang sifatnya mensucikan anggota badan yang nyata dari perbuatan dosa.

3) Taharah yang sifatnya mensucikan hati dari perbuatan yang tercela.

4) Taharah yang sifatnya mensucikan rahasia (roh) dari kecendrungan menyembah sesuatu di luar Allah SWT.

Karena Tasawuf selalu menelusuri persoalan ibadah sampai kepada hal-hal yang sangat dalam (yang bersifat rahasia), maka ilmu ini sering dinamakan Ilmu Batin, sedangkan Fiqh sering disebut Ilmu Zahir.

c. Tasawuf Akhlaqi

Yaitu Tasawuf yang menekankan pembahasannya pada budi pekerti yang akan mengantarkan manusia mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, sehingga di dalamnya dibahas beberapa masalah akhlaq, antara lain:

1) Bertaubat (At-Taubah); yaitu keinsafan seseorang dari perbuatannya yang buruk, sehingga ia menyesali perbuatannya, lalu melakukan perbuatan baik.

2) Bersyukur (Asy-Shukru); yaitu berterima kasih kepada Allah, dengan mempergunakan segala nikmat-Nya kepada hal-hal yang diperintahkan-Nya;

3) Bersabar (Ash-Sabru); yaitu tahan terhadap kesulitan dan musibah yang menimpanya.

4) Bertawakkal (At-Tawakkul); yaitu memasrahkan sesuatu kepada Allah SWT. Setelah berbuat sesuatu semaksimal mungkin untuk mencapai tujuan.

5) Bersikap ikhlas (Al-Ikhlas); yaitu membersihkan perbuatan dari riya (sifat menunjuk-nunjukkan kepada orang lain), demi kejernihan perbuatan yang kita lakukan.

Ini baru sebagian kecil saja akhlaq baik terhadap Tuhan yang kita bicarakan, tetapi pembicaraan Tasawuf selalu menuju kepada pembahasan yang lebih dalam lagi, yaitu hingga menelusuri kerahasiaannya. Jadi pembicaraan taubat, syukur, sabar, tawakkal dan ikhlas, dibahas dengan mengemukakan indikasi lahiriyahnya saja, maka hal itu termasuk lingkup pembahasan akhlaq; tetapi bila dibahasnya sampai menelusuri rahasianya, maka hal itu termasuk Tasawuf. Sehingga dari sinilah kita dapat melihat perbedaan Akhlaq dengan Tasawuf, namun dari sisi lain dapat dilihat kesamaannya, yaitu keduanya sama-sama tercakup dalam sendi Islam yang ketiga (Ihsan).

Bila ditinjau dari sisi corak pemikiran atau konsepsi (teori-teori) yang terkandung di dalamnya, maka hal itu bisa menjadi Tasawuf Salafi, Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi.

Dalam Tasawuf Salafi dan Tasawuf Sunni, system peribadatan dan teori-teori yang digunakannya, sama dengan yang telah dilakukan oleh Ulama-Ulama Salaf, sehingga kadang-kadang Tasawuf Sunni disebut juga Tasawuf Salafi. Lain halnya dengan Tasawuf Falsafi, ajarannya sudah dimasuki oleh teori-teori Filsafat; misalnya dipengaruhi oleh Filsafat Yahudi; Filsafat Kristen dan Filsafat Hindu. Maka tidak sedikit ajarannya yang hampir sama dengan agama yang mempengaruhinya, terutama konsepsi yang digunakan untuk mendapat hakikat ketuhanan; dengan istilah “Al-Hulul” (larutnya sifat ketuhanan ke dalam sifat kemanusiaan), “Al-Ittihad” (leburnya sifat hamba dengan sifat Allah), “Wihdatu al-Wujud” (menyatunya hamba dengan Allah) dan sebagainya. Dan barangkali inilah yang dimaksudkan oleh orang-orang yang mengatakan bahwa Tasawuf Islam itu tidak lain, kecuali hanya ajaran Mistik umat-umat terdahulu, yang telah ditransformasikan oleh Ulama Tasawuf ke dalam Islam. Tetapi tuduhan itupun dialamatkan pada Tasawuf Sunni dan Salafi, padahal sebenarnya ajaran Tasawuf tersebut masih konsisten dalam ajaran Islam. Hanya saja, barangkali ada tata caranya yang sudah dikembangkan oleh Ulama Tarekat pada masa sesudahnya yang akhirnya tidak persis sama dengan Tasawuf yang telah dipraktekkan oleh Ulama Sahabat dan Tabin di abad pertama dan kedua Hijriyah. Tentu saja, perkembangannya itu hanya sekedar memenuhi tuntutan zaman yang dilaluinya, sedangkan prinsipnya tidak bertentangan dengan pengalaman Ulama-Ulama Salaf.



D. Kedudukan Ilmu Tasawuf dalam Islam

Ajaran Tasawuf dalam Islam, memang tidak sama kedudukan hukumnya dengan rukun-rukun Iman dan rukun-rukun Islam yang sifatnya wajib, tetapi ajaran Tasawuf bersifat sunnat. Maka Ulama Tasawuf sering menamakan ajarannya dengan istilah “Fadailu al-A’mal” (amalan-amalan yang hukumnya lebih afdhal, tentu saja maksudnya amalan sunnat yang utama.

Memang harus diakui bahwa tidak ada satupun ayat atau Hadith yang memuat kata Tasawuf atau Sufi, karena istilah ini baru timbul ketika Ulama Tasawuf berusaha membukukan ajaran itu, dengan bentuk ilmu yang dapat dibaca oleh orang lain. Upaya Ulama Tasawuf memperkenalkan ajarannya lewat kitab-kitab yang telah dikarangnya sejak abad ketiga Hijriyah, dengan metode peribadatan dan istilah-istilah (symbol Tasawuf) yang telah diperoleh dari pengalaman batinnya, yang memang metode dan istilah itu tidak didapatkan teksnya dalam Al-Qur’an dan Hadith. Tetapi sebenarnya ciptaan Ulama Tasawuf tentang hal tersebut, didasarkan pada beberapa perintah Al-Qur’an dan Hadith, dengan perkataan “Udhkuru” atau “Fadhkuru”. Dari perintah untuk berzikir inilah, Ulama Tasawuf membuat suatu metode untuk melakukannya dengan istilah “Suluk”. Karena kalau tidak didasari dengan metode tersebut, maka tidak ada bedanya dengan akhlaq mulia terhadap Allah. Jadi bukan lagi ajaran Tasawuf, tetapi masih tergolong ajaran Akhlaq.

Tasawuf merupakan pengontrol jiwa dan membersihkan manusia dari kotoran-kotoran dunia di dalam hati, melunakan hawa nafsu, sehingga rasa takwa hadir dari hati yang bersih dan selalu merasa dekat kepada Allah. Tujuan tasawuf itu menghendaki manusia harus menampilkan ucapan, perbuatan, pikiran, dan niat yang suci bersih, agar menjadi manusia yang berakhlak baik dan sifat yang terpuji, sehingga menjadi seorang hamba yang dicintai Allah swt. Oleh karena itu, sifat-sifat yang demikian perlu dimiliki oleh seorang muslim.

Maka dengan bertasawuf, seseorang akan bersikap tabah, sabar, dan mempunyai kekuatan iman dalam dirinya, sehingga tidak mudah terpengaruh atau tergoda oleh kehidupan dunia yang berlebihan dengan bersikap qonaah, yaitu sabar dan tawakal, serta menerima apa yang telah diberikan Allah walaupun sedikit. Oleh karena itu tasawuf betul-betul mendapatkan perhatian yang lebih dalam ajaran Islam, walaupun sebagian ulama fikih menentang tasawuf ini, karena dianggap bid'ah dan orang yang mempelajarinya telah berbuat syirik, karena tidak berpedoman kepada Al-Quran dan Sunnah.

Banyak ayat-ayat Al-Quran dan hadits yang memerintahkan manusia supaya bertobat, sabar, tawakal, bersikap zuhud, ikhlas dan ridha kepada Allah swt, serta membersihkan diri dengan berzikir kepada Allah. Sebagaimana Allah swt, berfirman:

“Sesungguhnya berbahagialah orang yang membersihkan diri, dan ia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang.” (QS. Al- A'la: 14-15)



Ulama Tasawuf, yang sering juga disebut “Ulama’ al-Muhaqqin” membuat tata cara peribadatan untuk mencapai tujuan Tasawuf, didasarkan atas konsepsi dan motivasi beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadith, antara lain berbunyi:

“Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka).” (Q.S. At-Tiin: 4-5)



“Hai orang-orang yang beriman; berdhikirlah (dengan) menyebut (nama) Allah, dhikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbhilah kepada-Nya di waktu pagi dan petang.”(Q.S. Al-Ahzab: 41-42)



“Sembahlah Allah, seolah-olah engkau melihat-Nya; maka apabila engkau tidak dapat melihat-Nya, maka Ia pasti melihatmu. (H. R. Bukhary Muslim, yang bersumber dari Abu Hurairah)

Dalam ayat pertama, diterangkan bahwa manusia diciptakan oleh Allah dengan sebaik-baik kejadian, namun karena perbuatan manusia itu sendiri, maka Allah mengembalikannya kepada tempat yang sangat hina. Tempat inilah yang dimaksudkan oleh Sufi sebagai neraka. Dan untuk menghindarinya, maka Sufi membuat tata cara mengabdikan diri kepada Allah, yang disebut dengan “Suluk”, di mana di dalamnya diwarnai oleh zikir, sebagaimana anjuran dalam ayat kedua di muka, dengan kalimat “Udzkurullah Dzikran Katsiira”… Sehingga Salik (peserta suluk) dapat mencapai tujuan Tasawufnya, yang disebut Ma’rifah; yaitu suatu pengenalan batin terhadap Allah, yang disebut dalam hadith di muka, sebagai perkataan pengabdian hamba kepada Allah, yang seolah-olah dapat melihat-Nya (A’budillah Kannaka Tarahu …).

Bukankah kita ingin dekat dengan Allah sedekat-dekatnya, serta merasa dekat dengan-Nya? Oleh karena harus ada penyucian diri dengan selalu berusaha membersihkan hati, supaya kita memperoleh jiwa yang tenteram dan menjadi orang yang bahagia hidup di dunia dan akhirat. Seperti halnya Rasulullah saw, beliau adalah pembesar dari seluruh ahli tasawuf yang berdaya upaya dengan sangat kepada kesucian hati serta menjauhi dari sifat-sifat hati yang jelek.

Jadi, seorang hamba bisa dekat dengan Allah, yaitu dengan bertasawuf. Dengan demikian tasawuf memiliki Kedudukan yang penting dalam ajaran Islam tergantung kita dalam mempelajari dan memahaminya.



E. Esensi Tasawuf

Ajaran tasawuf mengandung esensi etika yang berlandaskan padapembangunan moral manusia. Berbicara pembangunan moralitas,sebagaimana diketahui bersama bahwa dewasa ini peradaban dunia tengahmengalami krisis moralitas, dimana banyak fenomena menunjukkankekerasan dan kekejian yang dilakukan oleh manusia. Sehingga terjadidistorsi moral yang menyebabkan kehancuran dan kerugian manusia itusendiri.Pada konteks ini, tasawuf mampu berfungsi sebagai terapi krisisspiritual yang berimbas pada distorsi moral.

Sebab pertama , tasawufsecara psikologis, merupakan hasil dari berbaga i pengalaman spiritual dan merupakan bentuk dari pengetahuan langsung mengenai realitas-realitasketuhanan yang cenderung menjadi inovator dalam agama. Kedua,kehadiran Tuhan dalam bentuk mistis dapat menimbulkan keyakinan yangsangat kuat. Ketiga, dalam tasawuf, hubungan dengan Allah di jalin atasdasar kecintaan. Dengan kata lain, moralitas yang menjadi inti ajaran tasawufmendorong manusia untuk memelihara dirinya dari menelantarkankebutuhan-kebutuhanspiritualitasnya.

Sebab,menelantarkan kebutuhan spiritualitas sangat bertentangan dengan tindakan yang dikehendaki olehAllah SWT.Permasalahan moralitas dalam tasawuf dapat dijadikan sebagaisalah satu alternatif materi dalam proses dakwah, karena memiliki tigatujuan: pertama, turut serta berbagi peran dalam penyelamatankemanusiaan dari kondisi kebingungan sebagai akibat hilangnya nilai-nilaispiritual. Kedua , memperkenalkan literatur atau pemahaman tentang aspekesoteris Islam terhadap manusia modern. Ketiga, untuk memberikanpenegasan bahwa sesungguhnya aspek esoteris Islam, yaitu tasawuf adalahjantung ajaran Islam. Dengan mengaplikasikan ajaran tasawuf, umat manusia dapatmencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Kebahagiaan ini dapat tercapaidengan maksimal tanpa harus meninggalkan atau mematikan yang satu untuk mendapatkan yang lain. Tetapi dapat dicapai secara selaras danseimbang dengan mengaplikasikan dan membumikan ajaran tasawufdalam kehidupan beragama, bermasyarakat dan bernegara.

Tasawuf merupakan salah satu aspek (esoteris) Islam, sebagai perwujudan dari ihsan yang berarti kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung seorang hamba dengan tuhan-Nya. Esensi tasawuf sebenarnya telah ada sejak masa kehidupan rasulullah saw, namun tasawuf sebagai ilmu keislaman adalah hasil kebudayaan islam sebagaimana ilmu –ilmu keislaman lainnya seperti fiqih dan ilmu tauhid. Pada masa rasulullah belum dikenal istilah tasawuf, yang dikenal pada waktu itu hanyalah sebutan sahabat nabi.

Munculnya istilah tasawuf baru dimulai pada pertengahan abad III Hijriyyah oleh abu Hasyimal-Kufi (w. 250 H.) dengan meletakkan al-Sufi dibelakang namanya. Dalam sejarah islam sebelum timbulnya aliran tasawuf, terlebih dahulu muncul aliran zuhud. Aliran zuhud timbul pada akhir abad I dan permulaan abad II Hijriyyah.

Imam Ghazali dalam an-Nusrah an-Nabawiahnya mengatakan bahwa mendalami dunia tasawuf itu penting sekali. Karena, selain Nabi, tidak ada satupun manusia yang bisa lepas dari penyakit hati seperti riya, dengki, hasud dll. Dan, dalam pandangannya, tasawuf lah yang bisa mengobati penyakit hati itu. Karena, tasawuf konsentrasi pada tiga hal dimana ketiga-tiganya sangat dianjurkan oleh al-Qur\'an al-karim. Pertama, selalu melakukan kontrol diri, muraqabah dan muhasabah. Kedua, selalu berdzikir dan mengingat Allah Swt. Ketiga, menanamkan sifat zuhud, cinta damai, jujur,sabar, syukur, tawakal, dermawan dan ikhlas.

Melihat konsenstrasi bahasan tasawuf di atas, jelas sekali bahwa tasawuf bagian dari Islam.



F. Muncul dan Berkembangnya Tasawuf

Kenapa gerakan tasawuf baru muncul paska era Shahabat dan Tabi\'in? Kenapa tidak muncul pada masa Nabi? Jawabnya, saat itu kondisinya tidak membutuhkan tasawuf. Perilaku umat masih sangat stabil. Sisi akal, jasmani dan ruhani yang menjadi garapan Islam masih dijalankan secara seimbang. Cara pandang hidupnya jauh dari budaya pragmatisme, materialisme dan hedonisme. Tasawuf sebagai nomenklatur sebuah perlawanan terhadap budaya materialisme belum ada, bahkan tidak dibutuhkan. Karena Nabi, para Shahabat dan para Tabi\'in pada hakikatnya sudah sufi: sebuah perilaku yang tidak pernah mengagungkan kehidupan dunia, tapi juga tidak meremehkannya. Selalu ingat pada Allah Swt sebagai sang Khaliq

Ketika kekuasaan Islam makin meluas. Ketika kehidupan ekonomi dan sosial makin mapan, mulailah orang-orang lalai pada sisi ruhani. Budaya hedonisme pun menjadi fenomena umum. Saat itulah timbul gerakan tasawuf (sekitar abad 2 Hijriah). Gerakan yang bertujuan untuk mengingatkan tentang hakikat hidup. Konon, menurut pengarang Kasf adh-Dhunun, orang yang pertama kali dijuluki as-shufi adalah Abu Hasyim as-Shufi (w. 150 H)



G. Tujuan Tasawuf

Secara umum, tujuan terpenting dari sufi ialah agar berada sedekat mungkin dengan Allah. Akan tetapi apabila diperhatikan karakteristik tasawuf secara umum, terlihat adanya tiga sasaran “antara” dari tasawuf, yaitu : 
Tasawuf yang bertujuan untuk pembinaan aspek moral. Aspek ini meliputi mewujudkan kestabilan jiwa yang berkesinambungan, penguasaan dan pengendalian hawa nafsu sehingga manusia konsisten dan komitmen hanya kepada keluhuran moral. Tasawuf yang bertujuan moralitas ini, pada umumnya bersifat praktis. 
Tasawuf yang bertujuan ma’rifatullah melalui penyingkapan langsung atau metode ­al-Kasyf al-Hijab. Tasawuf jenis ini sudah bersifat teoritis dengan seperangkat ketentuan khusus yang diformulasikan secara sistimatis analitis. 
Tasawuf yang bertujuan untuk membahas bagaimana sistem pengenalan dan pendekatan diri kepada Allah secara mistis filosofis, pengkajian garis hubungan antara Tuhan dengan makhluk, terutama hubungnan manusia dengan Tuhan dan apa arti dekat dengan Tuhan.dalam hal apa makna dekat dengan Tuhan itu, terdapat tiga simbolisme yaitu; dekat dalam arti melihat dan merasakan kehadiran Tuhan dalam hati, dekat dalam arti berjumpa dengan Tuhan sehingga terjadi dialog antara manusia dengan Tuhan dan makan dekat yang ketiga adalah penyatuan manusia dengan Tuhan sehingga yang terjadi adalah menolong antara manusia yang telah menyatu dalam iradat Tuhan. 

Dari uraian singkat tentang tujuan sufisme ini, terlihat ada keragaman tujuan itu. Namun dapat dirumuskan bahwa, tujuan akhir dari sufisme adalah etika murni atau psikologi murni, dan atau keduanya secara bersamaan, yaitu: 

(1) penyerahan diri sepenuhya kepada kehendak mutlak Allah, karena Dialah penggerak utama dari sermua kejadian di alam ini; 

(2) penanggalan secara total semua keinginan pribadi dan melepaskan diri dari sifat-sifat jelek yang berkenaan dengan kehidupan duniawi(teresterial) yang diistilahkan sebagai fana’ al-ma’asi dan baqa’ al-ta’ah; dan 

(3) peniadan kesadaran terhadap “diri sendiri” serta pemusatan diri pada perenungan terhadap Tuhan semata, tiada yang dicari kecuali Dia. Ilāhi anta maksūdīy wa ridhāka mathlūbīy.






BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa Ilmu Tasawuf adalah suatu ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memporoleh kebahagian yang abadi. Pada awalnya tasawuf merupakan gerakan zuhud (menjauhi hal duniawi) dalam Islam, yang dalam perkembangannya melahirkan tradisi mistismeIslam yang mempunyai kedudukan sangat penting dalam ajaran islam itu sendiri. Dalam hal ini kedudukan Tasawuf berada pada sendi Ihsan, yang berfungsi untuk memberi warna yang lebih mendalam bagi sendi Aqidah dan sendi Syari’ah Islam.



B. SARAN

Penulis berharap penjelasan singkat tentang tasawuf ini dapat bermanfaat untuk semuanya.dan kedepannya akan mampu membahas tentang ilmu tasawuf dengan lebih detail lagi dan dengan bahan yang lebih lengkap.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

tentang dzia untaian cinta