Abu al Qasim Mahmud bin Muhammad bin umar bin Muhammad bin Umar al Khawarizmi az-Zamakhsyari lahir di Zamakhsyari pada tanggal 27 Rajab 467 H. Beliau berasal dari keluarga miskin dan taat beragama. Menjelang usia remaja beliau pergi meninggalkan desanya untuk menuntut ilmu ke Bukhara, sebuah pusat ilmu pengetahuan terkemuka pada saat itu. Baru beberapa tahun belajar beliau terpaksa pulang karena ayahnya meninggal dunia. Kemudian az-Zamakhsyari bermukim di Khawarizm dan berguru kepada Abu mudlar, seorang tokoh Mu’tazilah yang menguasai berbagai disiplin ilmu. Dibawah bimbinan Abu Mudlar, Zamakhsyari berhasil mengasai satra Arab, logika, filsafat, teologi. Beliau menjadi salah satu ulama yang yang disegani dan mnempati posisi yang cukup tinggi dibidang pemerintahan.
Setelah mengalami kekecewaan yang mendalam dalam bidang pemerintahan dan ditambah sakit yang dideritanya, Zamakhsyari lebih berkosentrasi pada pengkajian agama seperti mengajar, membaca dan menulis.
Beliau pergi ke Baghdada dan menjumpai beberapa ulama untuk mengikuti pengajian pengajiannya, di antaranya belajar hadis kepada Abu al-Khattab, Abu Sa’ad Asy Syaqani dan Abu Mansur al-Harisi, belajar fikih kepada Asy-Syarif ibnu Syajari.
Pada tahun 526 H sampai tahun 529 H Zamakhsayari berada di Makkah dan berhasil mengarang sebuah kitab yang diberi nama “Al-Kasyaf”. Di kalangan ulama az-Zamakhsyaridikenal sebagai orang yang sangat luas ilmu dan wawasannya. Beliau wafat pada tanggal 9 Zulhijjah 538 H.
Az-Zamakhsyari termasuk ulama yang cukup produktif dalam menghasilkan karya tulisan. Ini terlihat dari banyaknya krya yang telah beliau hasilkan, diantaranya: al Mufrad wa al Muallaf fi al nahwi, an Namuzaj fi al Nahwi, al-Mustasqa Fi Amtsal al-Fiqhiyyah, al-Faiq fi Tafsir al Hadis, dan sebagainya. Dari sekian banyak karyanya, tafsir al-Kasyaf adalah karyanya yang sangat monumental.
Karakteristik Tafsir al-Kasyaf
Kitab tafsir al-Kasyaf atau lengkapnya al-Kasyaf an Haqiq at-Tanzil wa Uyun, al-Aqawil fi Wujuh at-Ta’wil (Penyingkap Tabir Hakekat Wahyu dan Mata Air Hikmah Dalam Aneka penta’wilan) yang terdiri dalam empat jilid di selesaikan oleh az-Zamakhsyari dalam waktu yng relatif singkta yakni tiga tahun.
Dalam mukaddimah tafsir al-Kasyaf, az-Zamakhsyari mengungkapkan latar belakang penulisan kitab tafsir ini. Ada beberapa faktor yang melatar belakanginya, diantaranya: Pertama, emakin banyanknya permintaan agar beliau menulis sebuah kitab tafsir; kedua, antusias masyarakat yang begitu besar untuk mengetahui apa, yang beliau jelaskan sekitar ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga kalau dicermati tafsir ini, al-Kasyaf nampaknya juga tidak lepas dari kondisi yng melatarbelakanginya. Kasyaf secara bahasa berarti membuka ini berati tafsirnya sengaja ditulis dengan maksut untuk menyingkap rahasia-rahasia makna danpengertian al-Qur’an yang banyak ditanyakan oleh umat pada masa itu.
Latar belakang az-Zamakhsyari sebagai seorang pakar bahasa Arab memiliki pengaruh yang sangt besar dalam penulisan kitab tafsir ini. Dalam penulisannya az-Zamakhsyari menggunakan pendekatan bahasa, sehingga kitab tafsir ini memiliki corak tafsir yang sangat kental, yaitu corak lughawi (bahasa)
Selain itu, karakteristik yang menonjol dalm tafsir al-Kasyaf adalah adanya kecenderungan pada paham mu’tazilah . Pada dasarnya masing penganut aliran theologi mengklaim ayat-ayat yang sesuai dengan madzhabnya sebagai ayat muhkamat, sedangkan ayat yang sesuai ayat madzhab lain diklam sebagai ayat mutasyabihat yang harus di tawilkan sesuai dengan ma’na yat muhkamat yang mereka maksud. Demikian halnya dalam tafsir al-Kasyaf, setelah menjelaskan makna ayat muhkamat dan mutasyabihat pada ayat 7 surat Ali Imran
Kemudian menyebut surat al-An’am ayat 107 sebagai surat muhkamat dan surat al-Qiyamah ayat 23 sebagai ayat mutasyabihat. Dalam hal ini az-Zamakhsyari mengambil kesimpulan arti bahwa kata نظر dalam surat Qiyamah berarti التوقع /الرجاء yang artinya menanti.
Keilmuan Dan Karyanya
Zamakhsyari adalah salah seorang imam dalam bidang ilmu bahasa, ma’anai dan bayan. Dia juga merupakan ulama yang genius dan sangat ahli dalam bidang ilmu nahwu, bahasa, sastra dan tafsir. Pendapat-pendapatnya tentang ilmu bahasa arab diakui dan dipedomani oleh para ahli bahasa karena keorisinilan dan kecermatannya.
Bagi orang yang membaca kitab-kitab ilmu nahwu dan balaghah tentu sering menemukan keterangan-keterangan yang di kutip dari Zamakhsyari sebagai hujjah. Misalnya mereka mengatakan “Zamakhsyari telah berkata dalam kitab al-kasysyaf atau dalam asasul balaghah...” Ia adalah orang yang mempunyai pendapat dan hujjah sendiri dalam banyak masalah bahasa arab, bukan tipe orang yang suka mengikuti langkah orang lain yang hanya menghimpun atau mengutip saja, tetapi dia mempunyai pendapat orisinil yang jejaknya di tiru dan diikuti oleh banyak orang. Dia menpunyai banyak karya dalam bidang hadits, tafsir, nahwu, bahasa, ma’ani dan lain sebagainya. Diantara karangannya adalah :
• Al-Khasysyaf, tentang Tafsir Al-Qur’an
• Al-Fa’iq, tentang Tafsir Hadits
• Al-Minhaj, tentang Ushul
• Al-Mufassal, tentang Nahwu
• Asasul Balaghah, tentang Bahasa
• Ru’usul Masailil Fiqhiyah, tentang Fiqh
Kitab al-khasysyaf karya az-Zamakhsyari adalah sebuah kitab tafsir paling masyhur diantara sekian banyak tafsir yang disusun oleh mufassir bir-ra’-yi yang mahir dalam bidang bahasa. Al-alusi, Abus Su’ud, an-Nasafi dan para mufassir lain banyak mengutib dari kitab tersebut, tetapi tanpa menyebut sumbernya
Mazhab Fiqih Dan Aqidahnya
Zamakhsyari bermazhab Hanafi dan beraqidah paham Mu’tazilah. Ia menakwilkan ayat-ayat al-qur’an sesuai dengan mazhab dan aqidah yang dianutnya dengan cara yang hanya di ketahui oleh orang yang ahli, dan menamakan kaum mu’tazilah sebagai “saudara seagama dan golongan utama yang selamat dan adil ”.
Kitab Karangannya, Al-Kasysyaf ‘An Haqa’iqit Tanzil Wa ‘Unuyil Aqawil Fi Wujuhit Ta’wil
Kitab tafsir ini disusun oleh Az-Zamakhsyari selama tiga tahun, mulai dari tahun 526 H sampai dengan tahun 528 H, di Makkah al-Mukarramah, ketika ia berada di sana untuk melakukan ibadah haji yang kedua kalinya. Hal itu diketahui dari pengakuannya sendiri yang dituangkan pada muqaddimah tafsirnya. Dalam hal ini, ia mengatakan bahwa lama penyusunan kitabnya sama dengan lama masa pemerintahan Abu Bakar As-Shiddiq.
Tafsir al-Kasysyaf adalah salah satu kitab tafsir bi al-ra’yi yang terkenal, yang dalam pembahasannya menggunakan pendekatan bahasa dan sastra. Penafsirannya kadang ditinjau dari arti mufradat yang mungkin, dengan merujuk kepada ucapan-ucapan orang Arab terhadap syair-syairnya atau definisi istilah-istilah yang populer. Kadang penafsirannya juga didasarkan pada tinjauan gramatika atau nahwu.
Kitab tafsir ini merupakan salah satu kitab tafsir yang banyak beredar di dunia Islam, termasuk di Indonesia. Sebagai salah satu kitab tafsir yang penafsirannya didasarkan atas pandangan mu'tazilah, ia dijadikan corong oleh kalangan Mu’tazilah untuk menyuarakan fatwa-fatwa rasionalnya. Al-Fadhil Ibnu ‘Asyur berpendapat bahwa al-Kasysyaf ditulis antara lain untuk menaikkan pamor Mu’tazilah sebagai kelompok yang menguasai balaghah dan ta’wil.
Namun demikian, kitab ini telah diakui dan beredar luas secara umum di berbagai kalangan, tidak hanya di kalangan non-Ahlussunnah wal Jama’ah, tetapi juga di kalangan Ahlusunnah wal Jama’ah. Ibnu Khaldun misalnya, ia mengakui keistimewaan al-Kasysyaf dari segi pendekatan sastra (balaghah)-nya dibandingkan dengan sejumlah karya tafsir ulama mutaqaddimin lainnya. Menurut Muhammad Zuhaili, kitab tafsir ini yang pertama mengungkap rahasia balaghah al-Qur'an, aspek-aspek kemukjizatannya, dan kedalaman makna lafal-lafalnya, di mana dalam hal inilah orang-orang Arab tidak mampu untuk menentang dan mendatangkan bentuk yang sama dengan al-Qur’an. Lebih jauh, Ibnu ‘Asyur menegaskan bahwa mayoritas pembahasan ulama Sunni mengenai tafsir al-Qur’an didasarkan pada tafsir az-Zamakhsyari. Al-Alusi, Abu al-Su’ud, al-Nasafi, dan para mufassir lain merujuk kepada tafsirnya.
Di samping itu, ada juga beberapa kitab yang menyoroti aspek-aspek kitab tafsir ini, di antaranya: Al-Kafi asy-Syafi fi Takhrij Ahadis al-Kasysyaf (Uraian Lengkap Mengenai Takhrij Hadis pada Tafsir Al-Kasysyaf) oleh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Al-Inshaf fi ma Taqaddamahu al-Kasysyaf min I’tizal (Menyingkap pandangan-pandangan Mu'tazilah dalam Tafsir Al-Kasysyaf) oleh Imam Nashiruddin Ahmad bin Muhammad dan Ibnu Munir al-Iskandari, Syarh Syawahid al-Kasysyaf (penjelasan mengenai syair-syair dalam tafsir al-Kasysyaf) oleh Muhbibuddin Affandi.
Tafsir al-Kasysyaf yang beredar sekarang ini terdiri atas empat jilid disertai dengan tambahan tahqiq oleh ulama. Jilid pertama mencakup uraian mengenai muqaddimah yang oleh az-Zamakhsyari disebut sebagai khutbah al-Kitab yang berisi beberapa penjelasan penting tentang penyusunan kitab tafsir ini. Jilid ini pula yang memuat tafsir mulai dari surah al-Fatihah sampai surah an-Nisa (surah kelima). Jilid kedua berisi penafsiran yang terdapat pada surah al-An’am sampai pada surah al-Anbiya (surah ke-21), jilid ketiga berisi penafsiran ayat-ayat yang terdapat dalam surah al-Hajj sampai dengan ayat-ayat yang terdapat di dalam surah al-Hujurat (surah ke-49), dan jilid keempat berisi penafsiran ayat-ayat yang terdapat dalam surah Qaf sampai dengan ayat-ayat yang terdapat di dalam surah an-Nas (surah ke-114).
Az-Zamakhsyari melakukan penafsiran secara lengkap terhadap seluruh ayat Al-Qur'an, dimulai ayat pertama surah al-Fatihah sampai dengan ayat terakhir surah an-Nas. Dari sisi ini dapat dikatakan bahwa penyusunan kitab tafsir ini dilakukan dengan menggunakan metode tahlili, yaitu suatu metode tafsir yang menyoroti ayat-ayat Al-Qur'an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan dalam mushaf Utsmani. Az-Zamakhsyari sebenarnya tidak melaksanakan semua kriteria tafsir dengan metode tahlili, tetapi karena penafsirannya melakukan sebagian langkah-langkah itu, maka tafsir ini dianggap menggunakan metode tafsir tahlili.
Aspek lain yang dapat dilihat, penafsiran Al-Kasysyaf juga menggunakan metode dialog, di mana ketika Az-Zamakhsyari ingin menjelaskan makna satu kata, kalimat, atau kandungan satu ayat, ia selalu menggunakan kata in qulta (jika engkau bertanya). Kemudian, ia menjelaskan makna kata atau frase itu dengan ungkapan qultu (saya menjawab). Kata ini selalu digunakan seakan-akan ia berhadapan dan berdialog dengan seseorang atau dengan kata lain penafsirannya merupakan jawaban atas pertanyaan yang dikemukakan. Metode ini digunakan karena lahirnya kitab Al-Kasysyaf dilatarbelakangi oleh dorongan para murid Az-Zamakhsyari dan ulama-ulama yang saat itu membutuhkan penafsiran ayat dari sudut pandang kebahasaan, sebagaimana diungkapkan sendiri dalam muqaddimah tafsirnya:
"Sesungguhnya aku telah melihat saudara-saudara kita seagama yang telah memadukan ilmu bahasa Arab dan dasar-dasar keagamaan. Setiap kali mereka kembali kepadaku untuk menafsirkan ayat al-Qur'an, aku mengemukakan kepada mereka sebagian hakikat-hakikat yang ada di balik hijab. Mereka bertambah kagum dan tertarik, serta mereka merindukan seorang penyusun yang mampu menghimpun beberapa aspek dari hakikat-hakikat itu. Mereka datang kepadaku dengan satu usulan agar aku dapat menuliskan buat mereka penyingkap tabir tentang hakikat-hakikat ayat yang diturunkan, inti-inti yang terkandung di dalam firman Allah dengan berbagai aspek takwilannya. Aku lalu menulis buat mereka (pada awalnya) uraian yang berkaitan dengan persoalan kata-kata pembuka surat (al-fawatih) dan sebagian hakikat-hakikat yang terdapat dalam surah al-Baqarah. Pembahasan ini rupanya menjadi pembahasan yang panjang, mengundang banyak pertanyaan dan jawaban, serta menimbulkan persoalan-persoalan yang panjang".
Penyusunan kitab tafsir al-Kasysyaf tidak dapat dilepaskan dari atau merujuk kepada kitab-kitab tafsir yang pernah disusun oleh para mufassir sebelumnya, baik dalam bidang tafsir, hadis, qira’at, maupun bahasa dan sastra.
Pada sisi lain karya az-Zamakhsyari ini banyak dijadikan sebagai obyek kajian para ulama, baik ulama mutaakhirin maupun para ulama mutaqaddimin, yang ditujukan terhadap berbagai aspeknya. Dari berbagai kajian tersebut diketahui bahwa di antara para ulama ada juga yang memberikan penilaian negatif, di samping yang positif. Komentar-komentar tersebut dapat dilihat antara lain di dalam kitab-kitab yang secara lengkap membahas mengenai hal itu, antara lain: Manhaj az-Zamakhsyari fi Tafsir al-Qur'an wa Bayan I’jazi karya Musthafa Juwaini, At-Tafsir wa al-Mufassirun karya Adz-Dzahabi, Manahil al-'Irfan fi ‘Ulum al-Quran karya Muhammad Abdul Adzim az-Zarqani, Balaghah al-Qur’aniyyah fi Tafsir az-Zamakhsyari wa Atsaruhu fi Dirasat al-Balaghiyyah karya Muhammad Abu Musa.
Dari kajian yang dilakukan oleh Musthafa al-Juwaini terhadap kitab tafsir Al-Kasysyaf tergambar delapan aspek pokok yang dapat ditarik dari kitab tafsir itu, yaitu:
1. Az-Zamakhsyari telah menampilkan dirinya sebagai seorang pemikir Mu’tazilah;
2. Penampilan dirinya sebagai penafsir atsari, yang berdasarkan atas hadis Nabi;
3. Penampilan dirinya sebagai ahli bahasa;
4. Penampilan dirinya sebagai ahli nahwu;
5. Penampilan dirinya sebagai ahli qira’at,
6. Penampilan dirinya sebagai seorang ahli fiqh,
7. Penampilan dirinya sebagai seorang sastrawan, dan
8. Penampilan dirinya sebagai seorang pendidik spiritual.
Dari kedelapan aspek itu, menurut al-Juwaini, aspek penampilannya sebagai seorang Mu’tazilah dianggap paling dominan. Apa yang diungkapkan oleh al-Juwaini di atas menggambarkan bahwa uraian-uraian yang dilakukan oleh az-Zamakhsyari dalam kitab tafsirnya banyak mengambarkan berbagai pandangan yang mendukung dan mengarah pada pandangan-pandangan Mu'tazilah.
Begitu juga halnya dengan az-Zarqani yang menguatkan asumsi itu. Namun demikian, ia juga mencatat beberapa keistimewaan yang dimiliki tafsir Al-Kasysyaf, antara lain: Pertama, terhindar dari cerita-cerita israiliyyat; Kedua, terhindar dari uraian yang panjang; Ketiga, dalam menerangkan pengertian kata berdasarkan atas penggunaan bahasa Arab dan gaya bahasa yang mereka gunakan; Keempat, memberikan penekanan pada aspek-aspek balaghiyyah, baik yang berkaitan dengan gaya bahasa ma’aniyyah maupun bayaniyyah; dan Kelima, dalam melakukan penafsiran ia menempuh metode dialog.
Zamakhsyari adalah seorang penganut paham dan bermazhab Hanafi, ia menulis al-khasysaf untuk mendukung akidah dan mazhabnya. Paham kemu’tazilahan dalam tafsirnya itu telah diungkapkan dan diteliti oleh ‘Allamah Ahmad Annayyir yang di tuangkan dalam bukunya al-Intisaf.
Di dalam kitab ini an-Nayyir menyerang az-zamakhsyari dengan mendiskusikan masalah akidah mazhab Mu’tazilah yang dikemukakannya dan mengemukakan pandangan yang berlawanan dengannya, dia juga mendiskusikan masalah-masalah kebahasaan.
Paham kemu’tazilahan Zamakhsyari dalam tafsirnya membuktikan kecerdasan, kecemerlangan dan kemahirannya. Ia mampu mengungkapkan isyarat-isyarat yang jauh agar terkandung di dalam makna ayat guna membela kaum Mu’tazilah dan menyanggah lawan-lawannya. Tetapi dari aspek kebahasaan ia berjasa telah menyingkap keindahan al-qur’an dan daya tarik balaghahnya. Hal ini karena dia memiliki pengetahuan yang sangat luas tentang ilmu balaghah, Bayan, nahwu dan sharaf.
Dia pernah menyatakan bahwa orang yang menaruh perhatian terhadap tafsir tidak akan dapat menyelami hakikatnya sendirikecuali jika dia telah menguasai dua ilmu khusus bagi al-qur’an yaitu, ilmu ma’ani dan ilmu bayan. Zamakhsyari telah cukup lama menyelami keduanya, bersusah payah dalam menggalinya, menderita karenannya serta di dorong oleh cita-cita luhur untuk memakahi kelembutan-kelembutan hujjah Allah dan oleh hasrat ingin mengetahui mukjizat Rasulullah.
Ibnu Khaldun memberikan analisa dan penilaian terhadap Al-Khasysyaf karya Zamakhsyari tersebut di saat membicarakan tentang rujukan tafsir mengenai pengetahuan tentang bahasa, I’rab, dan balaghah. Dia mengatakan :
Di antara kitab tafsir paling baik yang mencakup bidang tersebut ialah kitab Al-Khasysyaf karya Zamakhsyari, seorang penduduk khawarizm di Irak.hanya saja pengarangnya termasuk pengikut fanatic mu’tazilah. Karena itulah ia senantiasa mendatangkan argementasi-argumentasi untuk membela mazhabnya yang rusak setiap ia menerangkan ayat-ayat Alqur’an dari segi balaghah. Cara demikian bagi para penyelidik dari kaum ahli sunnah di pandang sebagai penyimpangan dan, bagi jumhur, merupakan manipulasi terhadap rahasia dan kedudukan al-Quran. Namun demikian mereka tetap mengakui kekokohan langkahnya dalam hal berkaitan dengan bahasa dan balaghah. Tetapi jika orang membacanyatetap berpijak pada mazhab sunni dan menguasai hujah-hujahnya, tentu ia akan selamat dari perangkap-perangkapnya. Oleh karena itu, kitab tersebut perlu di baca mengingatkeindahan dan keunikan seni bahasanya.
Belakangan ini munculsebuah karya salah seorang bangsa Irak, Syafruddi at-Tayyibi, penduduk Tauriz Irak ‘ajam. Di dalam karya tersebut ia mensyarahkan kitab zamakhsyari, meneliti lafaz-lafaznyam membeberkan mazhab mu’tazilahnyadengan mengemukakan dalil-dalil yang membuktian kepalsuannya dan menjelaskan bahwa aspek balaghah itu hanya terletak pada ayat menurut pandangan ahli sunnah, bukan menurut pandangan kaum mu’tazilah. Sungguh sebemnarnya dia telah berbuat baik dalam hal tersebut sesuai dengan kemampuannya serta mencukupi pula seni-seni balaghahnya. Ya, kita tahu benar bahwa bagaimanapun di atas orang pandai masih ada yang lebih pandai.
Al-Maktabah at-Tajariyah Mesir telah menerbitkan al-Khasysyaf cetakan terakhir yang diterbitkan oleh Mustafa Husein Ahmad dan di beri lampiran empat buah kitab.
• Al-Intisaf oleh an-Nayyir
• Asy-Syafi fi Takhriji Ahaadisil Khasysyaf oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar Al’asqalani
• Hasyifah Tafsir al-Khasysyaf oleh Syaikh Muhammad ‘Ulyan al-Marzuki, dan
• Masyahidul Insaf ‘ala Syawahidil khasysyaf juga oleh al-Marzuki
Kitab terakhir inilah yang menunjukkan bahwa tafsir az-Zamakhsyari mengandung banyak akidah Mu’tazilah yang diungkapkan secara tersirat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar